Ternyata Cinta Tak Seperti yang Kutahu

          Namaku Larasati. Aku lebih sering dipanggil Laras. Aku tidak tahu alasan krusial orangtuaku menamai demikian. Namanya cantik dan semoga pemiliknya secantik namanya. Begitu kata ibu. Entahlah. Tapi -entah kebetulan atau tidak- aku memang seorang anak perempuan yang cantik sejak kecil hingga dewasa nanti. Aku berkulit putih. Hidungku mancung. Mataku bulat dan berwarna biru tak seperti orang Indonesia kebanyakan. Bibirku indah. Aku punya gigi kelinci yang membuatku terlihat lebih lucu. Rambutku keriting dan berwarna pirang. Sungguh perpaduan yang indah kata orang. Dan ini adalah penggalan kisah hidupku.
***
           Namaku Laras. Usiaku 12 tahun. Namun aku lebih banyak memahami hal-hal yang seharusnya belum bisa dimengerti anak-anak seusiaku. Kelak saat aku jadi wanita dewasa, aku tak mau menikah. Pernikahan mesti melibatkan cinta dua arah. Tanpa itu, pernikahan pasti hancur. Lihat saja pernikahan orangtuaku. Hancur berantakan. Ibu mati-matian mencintai ayah. Sementara itu, ayah mati-matian mengkhianati dan menyakiti ibu. Ayah tak pernah mencintai ibu. Sebagai teman bermain bersama, ayah menikahi ibu hanya karena merasa kasihan pada ibu karena ibu hanya sebatangkara sejak ia kecil. Karena itu, aku sudah memutuskan tak mau mencintai ataupun dicintai. Bagiku, cinta itu sebuah pekerjaan berat nan melelahkan. Cinta itu membuat pemiliknya lemah. Sama seperti ibu yang lemah karena cintanya pada ayah. Ia tak pernah melawan saat ayah berkali-kali menyakiti lahir dan batinnya selama bertahun-tahun. Cinta itu membuat pemiliknya dungu, buta dan bisu. Sama seperti ibu yang menjadi dungu, buta dan bisu menyaksikan perangai buruk dan kenakalan ayah di luar sana. Ketika kita mencintai, maka kita merasa takut kehilangan. Ya. Sama seperti ibu yang tak berani menghentikan semua kekacauan yang ayah buat karena ia takut kehilangan ayah. Cinta itu membuat hancur pemiliknya. Sama seperti ibu yang hancur saat ayah meninggalkannya bersama sahabat ibu sendiri. Ibu mengurung diri berminggu-minggu. Larut dalam rasa kehilangannya. Rusak dalam cinta satu arahnya. Bahkan, ia lupa padaku, anak semata wayangnya. Ibu tak mempedulikan aku sama sekali untuk beberapa waktu. Ibu tak tahu kalau aku merekam semua yang terjadi itu dalam pikiran dan hatiku.
***
          Namaku Laras. Usiaku saat ini 15 tahun. Aku tumbuh seperti anak remaja lainnya. Aku tumbuh baik meski keluargaku tak sempurna. Kelak saat aku jadi wanita dewasa, aku tak mau menikah. Masih untuk alasan yang sama dengan saat aku masih kecil. Aku tak punya minat terhadap cinta. Aku juga tak punya kemampuan untuk mencintai. Dan aku tak punya keinginan untuk dicintai. Bagiku, bisa bergaul dengan banyak teman pun sudah cukup. Aku anak perempuan yang normal. Sama seperti yang lain. Aku berteman dengan anak laki-laki maupun anak perempuan. Tapi, aku tidak mencintai mereka dan melarang mereka mencintaiku. Aku tidak membenci teman-teman lelakiku. Aku juga tidak membenci teman-teman perempuanku. Sama halnya aku tidak membenci ayah ataupun ibu. Hanya saja, aku tidak mencintai kesemua orang itu. Bukankah tidak mencintai bukan berarti membenci? Dan bukankah tidak membenci bukan berarti mencintai? Oya, beberapa hari yang lalu salah seorang teman lelakiku menyatakan cinta padaku. Namanya Sadam. Dia temanku sejak masuk SMP. Tapi, sekarang tak lagi. Aku tak suka karena dia telah mencintaiku. Aku menjauh darinya. Dan dia pun menjauh dariku. Pergi entah kemana. Katanya, dia pindah ke luar kota. Ah, aku tak tahu.
***
      Namaku Laras. Hari ini usiaku genap 17 tahun. Aku bersyukur karena aku pintar jadi aku bisa mendapatkan beasiswa untuk terus sekolah. Bila hanya mengandalkan penghasilan ibu yang hanya sebagai seorang penjahit di kampung, tentulah sulit rasanya bagiku untuk tetap bisa sekolah di tengah mahalnya biaya pendidikan saat ini. Oh ya, aku masih seorang gadis remaja yang tumbuh normal. Tapi, aku masih sama seperti dulu. Kelak saat aku jadi wanita dewasa, aku tak mau menikah. Alasannya pun masih sama seperti dulu. Pernah suatu kali ibu menanyakan hal itu padaku. Aku tidak menjawab. Hanya melotot pada ibu. Ia menyerah dan tidak pernah menanyakan lagi hal itu. Mungkin ibu mengerti. Atau mungkin saja tidak. Sama seperti teman-temanku. Sebagian dari mereka mungkin menganggapku aneh. Tapi, mungkin saja tidak. Ah aku sama sekali tak peduli dengan tanggapan orang-orang. Aku hanya senang bisa menjalani kehidupanku tanpa beban. Aku gadis yang cerdas dan punya banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan. Tapi, aku tidak pernah punya sahabat, terlebih sahabat wanita. Kata ibu, sahabat itu musuh paling dekat. Sahabat itu orang yang paling berpotensi “menikung” kita. Ya, aku tahu itu sejak aku melihat ayah pergi bersama sahabat ibu sendiri. Akhir-akhir ini banyak teman-teman laki-lakiku bertingkah aneh. Mereka sangat rajin menghubungiku untuk hal-hal sepele, rajin memberiku perhatian dan hadiah, menawarkan antar jemput dan lain sebagainya. Mereka bilang itu hanya sebatas perhatian teman. Huh, mereka pikir aku tolol. Aku tahu teman tak seperti itu. Aku tahu mereka mencintaiku. Kata ibu, itu karena aku cantik. Tapi, aku tak suka hal itu. Lalu, aku menjauh dari mereka. Dan begitupun sebaliknya.
***
         Namaku Laras. Kini, aku sudah lulus dari universitas. Tentu saja karena beasiswa-beasiswa itu aku bisa melanjutkan pendidikanku. Usiaku sekarang sudah 22 tahun. Aku mungkin sudah bisa dibilang sebagai wanita dewasa. Tapi, aku tetap tak mau menikah. Kenapa harus? Untuk apa? Namun, belakangan ini ibu malah sibuk mencarikan aku jodoh. Padahal ia jelas-jelas tahu aku tak suka hal itu. Lebih parahnya lagi, beberapa hari yang lalu ibu telah menerima lamaran seorang pria tanpa bertanya dulu padaku. Sempurna bukan? Yah, sama sempurnanya dengan calon suamiku itu kalau ibu bilang. Katanya, dia tampan, mapan, berakhlak baik dan berpendidikan. Hah, memangnya aku tertarik dengan itu semua? Tapi, kuputuskan untuk berkenalan dengan dia. Bukan. Bukan karena aku ingin menikah. Entahlah. Hanya sekedar ingin membiarkan dia tahu aku ini seperti apa. Singkat cerita, kami berkenalan. Dia biasa saja. Yang kulihat semua pria sama seperti itu. Tak tahu aku ukuran tampan atau tidaknya seorang pria. Aku meminta dia bercerita tentang dirinya. Dia pun bercerita panjang lebar. Semuanya datar. Biasa saja. Ukuran sempurna yang kalau kata orang bilang jika mendengarkan cerita tentang dirinya itu sama sekali tak kulihat. Lalu, tiba giliranku bercerita. Aku ceritakan semua tentangku. Tak kurang dan tak lebih. Dia hanya mengangguk-angguk. Entah itu pertanda dia mengerti atau justru sebaliknya. Beberapa hari berlalu. Aku sama sekali tak ingat padanya jika pagi tadi aku tak bertemu dengannya di jalan. Dia sedang berjalan dengan seorang gadis saat aku menyapanya. Dia tampak bingung, lalu meminta maaf. Dia bilang dia tak bisa menikah dengan gadis aneh sepertiku. Aku hanya tersenyum. Sungguh, aku tak merasakan apa-apa. Satu hal yang membuatku heran, itukah pria yang dimaksud ibu sebagai pria berakhlak baik dan berpendidikan? Kukatakan itu pada ibu. Dia terlihat seperti menelan kekecewaan karena hal itu. Ah, kenapa ibu seperti itu?
***
        Namaku Laras. Saat ini, aku sudah berusia 25 tahun. Aku belum menikah dan memang tidak mau menikah meski usiaku sudah tidak pantas lagi untuk melajang. Karena itulah, ibu selalu mendesakku untuk menikah. Rupanya ibu tidak kapok walau dulu pria yang sudah melamarku membatalkan lamaran itu tanpa memberikan penjelasan pada ibu. Ibu sangat khawatir padaku. Padahal aku baik-baik saja. Ibu tak bisa pergi sebelum melihat kau menikah Laras. Begitu kata ibu sewaktu kembali dirawat di rumah sakit untuk ke sekian kalinya. Dua tahun terakhir ibu sering sekali masuk rumah sakit. Kata dokter, paru-paru ibu sudah bermasalah sejak lama. Pantas saja badannya kurus dan kelihatan tak sehat.
***
        Namaku Laras. Usiaku 26 tahun. Saat ini, aku akan menikah. Menikah disaksikan ibu yang sudah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Aku tidak tahu kenapa aku harus menikah. Tapi, semua orang bilang kalau aku harus mengabulkan keinginan ibu agar ia bisa pergi dengan tenang. Ibu ingin melihatku menikah sebelum ia pergi. Bagaimanapun aku manusia. Dan aku bukan orang yang egois. Hanya sedikit keras kepala barangkali. Kali ini, aku mau menikah. Tidak ada alasan lain selain ingin mengabulkan permohonan ibu agar orang-orang juga tidak menyalahkanku nantinya. Hemm soal calonnya, dia adalah temanku dulu. Teman yang pernah menyatakan cinta padaku sewaktu aku berusia 15 tahun. Ya, Sadam. Beberapa bulan lalu kami tak sengaja bertemu di suatu acara. Lalu, dia meminta maaf atas kejadian yang dulu. Aku pun memafkannya dan kami kembali berteman. Ternyata dia sekarang sama sepertiku. Tidak mau menikah dengan alasan yang sama sepertiku. Tapi, dia malah berbaik hati untuk menjadi pengantin pria dalam pernikahanku. Dia hanya ingin membantu teman katanya. Lagipula, memang aku tak punya pilihan lain. Dan tentunya, aku bersedia karena dia sama sepertiku. Akhirnya, kami resmi menjadi suami istri setelah berijab qabul. Setelah itu, ibu pergi untuk selamanya dengan membawa senyuman yang menyejukkan. Aku tidak sedih kehilangan ibu, karena memang aku tidak mencintainya. Yang kupikirkan hanyalah bagaimanakah hari-hariku setelah ini.
***
         Namaku Laras. Aku masih bersama Sadam. Sudah dua tahun berlalu semenjak kami menikah dulu. Hubungan kami baik-baik saja. Sangat baik. Kami bisa kembali berteman dengan baik seperti dulu. Aku tidak terbebani dengan embel-embel “menikah” atas status hubungan kami atau atas gelar “pasutri” yang diberikan orang-orang pada kami. Bagi kami, hubungan kami ini hanya sebatas pertemanan. Tak lebih. Hanya sebatas teman baik. Ya. Kami cocok dalam berbagai hal. Kami pun sering sharing dalam berbagai hal. Terkadang kami bekerja sama soal pekerjaan. Oya, aku belum menceritakan soal pekerjaan kami. Aku ini seorang fotografer dan Sadam adalah seorang penulis. Kami pernah melakukan beberapa proyek bersama. Ternyata, pernikahan ini sama sekali tak menakutkan. Mungkin karena kami sama.
***
        Aku Laras. Saat ini aku akan melahirkan. Tentu saja aku mengandung anaknya Sadam. Tidak. Aku sama sekali tidak mencintainya. Begitupun sebaliknya. Jangan. Jangan tanyakan bagaimana aku bisa hamil. Semuanya terjadi begitu saja. Akupun tak mengerti. Sungguh. Selama tiga tahun kami bersama, kejadian itu hanya terjadi sekali. Akupun tak mengerti kenapa kejadian itu bisa langsung membuatku hamil. Sadam pun sama tak mengertinya denganku barangkali. Tapi, kami sudah melupakannya. Kami tetap berteman baik. Terlebih, saat aku sedang mengandung. Saat ini pun dia sedang menemaniku untuk proses persalinan. Dia memang teman yang baik. Tapi walau bagaimanapun, tetap kebaikannya tak bisa membuat sakit di perutku ini menghilang. Sungguh. Sakit rasanya. Lebih sakit daripada sakit bulanan yang biasa kurasakan saat aku belum hamil dulu. Kini, seorang dokter kandungan dan seorang suster sedang membantu persalinanku. Benar-benar penuh perjuangan. Selang beberapa menit, bayi dari rahimku berhasil dikeluarkan. Aku melihatnya yang masih berlumuran darah. Lalu, suster membersihkan bayiku dan beberapa menit kemudian dia datang dengan bayiku yang sudah bersih. Bayi itu diletakkannya di dadaku. Entah kenapa, hatiku bergetar seketika. Aku tak tahu perasaan apa ini namanya. Bayi perempuan yang sedang ada dalam dekapanku ini menangis. Tiba-tiba, aku teringat ibu. Sungguh. Beginikah aku dulu dilahirkan? Beginikah dulu perjuangan ibu saat melahirkanku? Air mataku mengalir begitu saja. Untuk pertama kalinya, aku merindukan ibu.
***
       Aku Laras. Aku -seorang yang tidak menginginkan pernikahan- telah mempunyai seorang anak sekarang. Saras -begitu Sadam memberi nama anak kami- sudah berumur satu tahun. Wajahnya perpaduan antara aku dan Sadam. Lucu sekali. Kami mengurus dan membesarkan Saras dengan baik. Namun, belakangan ini aku menjadi aneh. Entah kenapa aku jadi sering menjadikan Sadam sebagai objek untuk foto-fotoku. Secara sengaja atau tidak. Secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Tapi, Sadam tak pernah komplen sekalipun dia tahu aku sedang mengambil fotonya. Selain itu, aku jadi sering khawatir jika dia pulang terlambat. Aku sering merasa cemas saat aku tak mendapat kabar darinya. Aku jadi sering memerhatikannya. Aku seolah berubah menjadi seorang istri yang baik untuknya. Semua yang dia butuhkan, aku sediakan. Mungkin dia heran dengan tingkahku. Tapi, aku tak bisa menyembunyikan atau bahkan menghentikannya. Aku jadi sering menerka-nerka jika dia sedang tak berada di rumah. Sedang apa dia? Bersama siapa? Sedang dimana dia? Dan hal-hal konyol lainnya. Jantungku jadi berdebar lebih kencang jika kami sedang bersama. Nafasku jadi sesak saat kami beradu pandang. Dan darahku mengalir dua kali lebih deras jika kami tak sengaja bersentuhan fisik. Aneh sekali. Tapi, diluar semua itu, ada satu hal yang benar-benar membuatku takut. Sungguh, aku takut seperti ibu. Entah kenapa, aku mulai merasa takut kehilangan Sadam.
***
         Hari ini hari peluncuran novel Sadam yang ke sebelas, bertepatan dengan hari jadi pernikahan kami yang ke lima. Aku dan Saras hadir di acara itu. Tentu saja Sadam yang memintanya. Tak biasanya memang. Selama ini -meski kami hidup bersama dan pernah beberapa kali mengerjakan proyek bersama- aku tak pernah membaca tulisan-tulisan Sadam. Entah kenapa. Akupun heran. Saat ini Sadam tengah berdiri di depan untuk memberikan sambutannya. Untuk pertama kalinya, aku melihat dia begitu tampan. Hatiku berdesir halus.
Terima kasih kepada kalian yang sudah menghadiri acara ini. Terima kasih untuk semua pembaca setiaku, untuk rekan media, untuk penerbit dan semua pihak yang telah membantu. Terima kasih pula untuk istri dan anakku yang sudah hadir di sini. Selama ini, tak ada yang tahu sejak kapan aku suka menulis, kenapa aku suka menulis dan siapakah inspirasi terbesarku dalam menulis. Hari ini aku akan mengatakannya. Aku suka menulis sejak SMP. Aku menulis karena aku merasa tidak semua hal bisa aku katakan. Dan akhirnya, sebagian yang tak bisa terucap itu hanya bisa kutuliskan. Semua tulisan-tulisanku itu kudedikasikan untuk seorang wanita. Dia yang menjadi sumber inspirasi terbesarku.
         Deg. Deg. Deg. Aku tiba-tiba memeluk Saras begitu erat. Aku tersentak mendengar bahwa Sadam mendedikasikan semua tulisannya untuk seorang wanita. Kali ini aku merasa takut dengan kenyataan. Aku takut kalau nasibku akan berakhir sama seperti ibu.
Wanita itu adalah wanita yang sudah aku cintai selama belasan tahun. Sejak aku tahu arti cinta hingga sekarang. Dulu dia sempat tak suka saat aku menyatakan cinta padanya. Tapi, setelah bertahun-tahun kemudian dia memaafkanku. Aku tahu dia wanita yang keras kepala. Karena itu aku berbohong kepadanya kalau aku tak berminat pada pernikahan sama seperti dia. Karena hal itu pula aku bisa menikah dengannya sampai kami mempunyai seorang putri yang cantik sepertinya. Dia tak pernah tahu kalau selama ini semua yang kulakukan adalah bentuk cintaku padanya. Aku tak pernah memaksanya untuk bisa mencintaiku. Karena toh saat ini dia sudah mencintaiku tanpa aku memintanya. Aku tahu itu Aku bisa melihatnya. Aku bisa merasakannya. Akhirnya dia sudah bisa melihatku. Terima kasih Laras, kau sudah menjadi bagian dari hidupku selama bertahun-tahun. Dan terima kasih telah melahirkan seorang putri yang cantik untukku. Aku mencintaimu.
Hatiku terasa bergemuruh. Baru kali ini aku merasakan perasaan seperti itu. Aku hanya bisa menatap Sadam yang sedang berjalan ke arahku. Tanpa berkata-kata, Sadam langsung mencium keningku lalu mendekapku dan Saras erat sekali. Air mataku terjatuh diiringi tepuk tangan pengunjung yang hadir dan kilatan lampu kamera. Dalam hati, aku berjanji untuk mengenalkan indahnya cinta pada Saras. Aku tak ingin anakku kelak mendapat pemahaman yang salah seperti yang terjadi padaku selama ini.

Komentar

  1. baper deh bacanya teh, bagus banget ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe. Makasih, Yesi.
      Aduh, ini cerpen zaman kapan, ya? Ga pake editing gitu.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. ceritanya oke bgt, apa lagi pas di endingnya, dia baru tahu apa artinya cinta. mantap!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Love Sparks in Korea Karya Asma Nadia

Kenapa (Saya) Tak Menulis?

Carilah Sahabat dan Berbuat Baiklah Padanya!