Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2013

Jika

            Jam tiga sore tepat, aku menginjakkan kaki kembali di tanah Padjadjaran ini, kota kelahiranku. Sudah satu tahun aku meninggalkan kota Bandung dan menetap di Jakarta, merantau disana, mencari sesuatu.             “Tan, berapa lama kau disini? Apa kau akan kembali lagi ke Jakarta Tan?” kak Tendra tiba-tiba mengagetkan aku dengan pertanyaannya itu. Dia adalah kakakku satu-satunya. Juga satu-satunya keluarga yang aku miliki di Bandung ini. Kedua orangtuaku tinggal di Batam, mengelola bisnisnya disana.             “Mungkin tiga hari Kak. Hari senin juga pulang. Aku izin satu hari dari kerjaan.” Jawabku santai.             “Sebenarnya, kau ini mencari apa di Jakarta? Sekolah enggak, malah kerja disana. Mendingan kamu disini aja sama kakak, lanjutin kuliah disini. Sebentar lagi kan ajaran baru, biar kakak daftarin kamu, yah?” Kak Tendra membujuk dengan nada halus. Aku tahu maksudnya kak Tendra bicara begitu. Tapi aku merasa tidak bisa bertahan lama disini.            

High Heels Dari Pangeran

            “Akhirnya, aku dapet juga sepatu ini...” ujar Tiara sambil mengusap-usap high heelsnya yang baru saja ia beli. Ia nampak senang sekali. Bagaimana tidak, hampir satu tahun dia mengumpulkan uang untuk bisa membeli sepatu seharga Rp. 850.000,00 itu, harga sepatu yang baginya mahal sekali.             “Kata orang, wanita itu harus mempunyai sepatu yang bagus, agar bisa mengantarkan dia ke tempat yang bagus pula.” Tiara menggumam dan tersenyum lagi sendirian sambil melenggang keluar dari toko sepatu.             Tiara gadis yang biasa-biasa saja. Jangankan untuk membeli sepatu semahal itu, untuk biaya kuliahnya pun dia harus bekerja sambilan di sebuah toko kue. Karena gajinya di toko kue tidak seberapa, makanya waktu yang ia butuhkan untuk mengumpulkan uang untuk membeli sepatu impiannya itu begitu lama.             “Hei, cewek aneh...!” langkah Tiara terhenti karena mendengar suara itu. Dia menoleh ke kanan. “Hah lagi-lagi dia?!” Tiara menghela nafas. Rupanya Pute

WARNA-WARNI HUJAN

Jika merah adalah cinta dan kuning adalah persahabatan, maka Jingga adalah kebahagiaan.             Kudengar di luar hujan turun begitu deras seolah menggambarkan kecemasannya akan takdirku. Seolah ikut merasakan segala kegalauan dan kesedihan yang tengah kurasakan. Seolah ingin berkata, “Jingga, tak usah kau lara begitu, lihatlah pelangi yang akan datang setelah aku pergi.” Ah sudahlah, selalu saja begitu pikiranku. Terlalu banyak berfantasi. Entah kenapa, setelah kejadian tragis itu, aku semakin sering berfantasi, berimajinasi atau lebih parah berhalusinasi. Terlebih ketika hujan deras mengguyur seisi kota. Ya, memang benar sepertinya hujan berperan penting dalam membangkitkan kenangan dan hujan menciptakan lagu indah bagi orang tertentu yang memiliki daya fantasi tinggi. Mungkin aku termasuk salah satu orang itu. Atau, mungkin saja aku hampir tak waras. Entahlah. Aku sendiri takut jika aku menjadi gila. Gila karena emosi yang meletup-letup. Gila karena depresi tak terkendali