Ana Cinta Bunda Karena Allah


Sore ini terasa begitu melelahkan. Di tengah hiruk pikuknya kota Jakarta di sore hari, seorang wanita berusia 38 tahun nampak sedang berjalan menuju rumah kecilnya di pinggiran kota. Ia baru saja pulang kerja, mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya.
            “Assalamualaikum..” ucap wanita itu sambil membuka pintu rumahnya. Nampak seorang gadis kecil di dalam rumah itu sedang menunggu dirinya.
            “Waalaikum salam.. Bunda udah pulang?” jawab gadis kecil itu sambil menghampiri Bundanya. Gadis itu bernama Ana Zannatunnisa. Dia anak kedua dari Bunda Nur, wanita berusia 38 tahun itu.
“oh iya Bunda, di sekolah ada lomba membuat dan membaca puisi antar sekolah. Ana mau...” Belum sempat Ana melanjutkan ceritanya, ia langsung menghentikannya karena melihat Bundanya yang nampak kelelahan sedang merebahkan dirinya di sofa.
Ana lalu ke dapur, mengambilkan teh hangat untuk Bundanya. Ana memang anak yang baik. Berbeda dengan kakak dan adiknya. Meskipun baru berusia 14 tahun, tapi Ana sudah pintar membantu Bundanya di rumah.
“ini Bun, Ana ambilkan teh hangat untuk Bunda. Bunda capek yah..?” Ana menyodorkan cangkir berisi teh hangat kepada Bundanya.
“ga apa-apa. Makasih ya An, kamu memang anak yang baik.”
Ana tersenyum, padahal dalam hatinya Ana nampak iba sekali kepada Bundanya. Semenjak ayahnya meninggal kena serangan jantung enam bulan yang lalu karena perusahaannya bangkrut, Bunda Nur yang harus mencari nafkah untuk hidup mereka berempat. Bunda Nur bekerja di Bank. Tapi, di zaman sekarang ini, tentu gajinya tidak begitu mencukupi untuk biaya hidup dan sekolah ketiga anaknya di kota sebesar Jakarta.
“Kak Fira dan Fahrul belum pulang yah An?” Bunda Nur tiba-tiba teringat kepada anak sulung dan bungsunya. Dia bangkit dari sofa.
“Belum Bun, mungkin sebentar lagi.”
“Mereka itu kemana sih? Selalu saja bikin khawatir.” Bunda Nur menggerutu.
Ana hanya diam melihat bundanya yang tampak khawatir kepada kedua anaknya yang belum pulang. Sekilas ia berpikir, “apa Bunda juga akan khawatir seperti itu jika aku yang belum pulang?” Tapi, Ana lalu membuang jauh-jauh pikirannya itu. Dia menegaskan hatinya kalau bunda juga akan sama khawatirnya seperti itu.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki dari arah luar. Suara langkah kaki itu mendekati pintu. Dan ternyata Fira dan Fahrul yang datang mengucapkan salam.
“assalamualaikum..” serentak mereka mengucapkan salam.
Bunda Nur langsung terperanjat.
“Fira, Fahrul, kalian berdua darimana dulu? Jam segini baru pulang. Kalian habis ngapain sih sampai pulang sore begini?” Terlihat di wajahnya, ia ingin sekali memarahi kedua anaknya itu.
“Bunda, Fira tadi ada praktikum di sekolah. Dadakan Bun. Masa Fira ga ikutan sih.” Jawab Fira sambil merangkul bundanya.
“iya Bun, Fahrul juga tadi abis ngerjain tugas kelompok di rumah Adit. Tugasnya harus dikumpulin besok.” Fahrul ikut-ikutan merangkul bundanya.
Bunda Nur yang tadinya ingin marah-marah, jadi luluh dengan rangkulan kedua anaknya itu. Sementara, di sudut ruang tengah, Ana hanya diam memperhatikan mereka.
Fira dan Fahrul memang anak yang pintar, selalu mendapat juara kelas. Makanya, Bunda Nur sangat membanggakan mereka berdua. Berbeda dengan mereka, prestasi Ana justru biasa-biasa saja. Namun, kelebihan Ana adalah ia pandai menulis. Dan satu-satunya orang yang tahu akan kelebihan Ana itu adalah ayahnya yang telah meninggal.
“Bunda, Ana pingin makan Bun?!” Ana menyahut dari dalam.
“oh iya. Kalian berdua juga pasti lapar kan?” Bunda menanyai Fira dan Fahrul. Mereka berdua mengangguk manja. “Biar Bunda masak dulu yah. Sebentar yah An?” ujar Bunda pada Ana yang sedang sibuk membuat puisi.
Ana merasa lega. Dia bertambah yakin kalau Bundanya memang menyayangi ketiga anaknya.
* * *
Satu hari lagi adalah hari lomba membuat dan membaca puisi antar sekolah. Ana telah menyiapkan semuanya. Tapi, tidak satupun keluarganya yang tahu kalau Ana mengikuti perlombaan itu. Beberapa hari Ana sibuk membuat puisi dan berlatih membacanya. Dan sekarang ia telah siap mengikuti perlombaan.
Sore ini, seperti sore-sore yang lainnya. Mereka sedang sibuk kerja bakti di rumah kecilnya. Ana tampak sibuk membereskan rumah, sementara Bunda Nur membersihkan pekarangan. Fira mendapat tugas seperti biasa, mencuci piring, dan Fahrul mengepel lantai. Tapi, Fira dan Fahrul malah tampak santai menonton TV. Dari luar, bunda Nur rupanya memperhatikan mereka. Dia lalu menghampiri kedua anaknya itu.
“Fira, Fahrul, kalian ini, bukannya bantuin kerja, malah sibuk nonton TV!”
“Abis tanggung Bun.” Jawab mereka serempak.
“Cepet, kalian kerjain tugas kalian masing-masing, nanti lagi nonton TV nya!” Bunda Nur bicara dengan intonasi tinggi.
“yah, Bunda. Lagi asyik-asyiknya juga.”  Ujar Fira, anak sulung bunda Nur yang memang pemalas. Sementara itu, Fahrul langsung mengambil kain pel sambil menggerutu. Dan Fira pun terpaksa melakukan tugasnya mencuci piring.
Tak lama berselang, di dapur terdengar suara berisik. Bunda Nur dan Ana lalu menghampirinya. Ternyata, di dapur terlihat pecahan gelas dan piring.
“ya ampun Fira, kenapa bisa pecah begini?” Bunda Nur merongos.
“maaf Bunda, abis licin sih. Tangan Fira juga lemes, abis main volly di sekolah tadi.” Jawab Fira sambil memperlihatkan wajah memelas.
“ya sudah, ga apa-apa. Biar Bunda aja yang beresin dan Ana yang terusin nyuci piringnya.” Seru bunda Nur luluh. “Ana, kamu lanjutin nyuci piring yah?!” Ana mengangguk. “Ga apa-apa kan An? Kakakmu itu emang pemalas An, jadi kamu yang ngalah yah?!” Bunda Nur minta pengertian Ana.
“iya Bun, ga apa-apa.” Ana menjawab tenang. Lagi-lagi dia yang harus mengalah kepada kakaknya.
“kak, kak Ana!” tiba-tiba suara Fahrul terdengar dari arah kamar Ana.
Ana lalu menghampiri suara Fahrul. Dilihatnya Fahrul sedang memegangi kertas yang berisi puisi untuk lomba Ana besok. “ada apa Rul?” tanya Ana.
“ini kertas apa kak? Puisi yah?” tanya Fahrul sambilk melihat-lihat tulisan di kertas itu.
Ana kaget. “Bukan apa-apa Rul. Simpan saja kertas itu.” Tapi Fahrul tak mau mendengarkan perkataan kakaknya. Ia malah senang mempermainkan kakaknya. Fahrul memang anak yang nakal.
“Sini Rul, kembalikan!” Ujar Ana kesal pada adiknya. Ana menarik kertas itu, dan Fahrul juga menariknya. Mereka jadi tarik menarik. Dan akhirnya, Fahrul menyenggol ember yang berisi air untuk pel lantai, dan embernya pun jatuh. Lalu, kertas itu pun jatuh ke dalam genangan air pel itu. Ana kaget melihat kertasnya basah. Ia ingin marah, tapi tak ada gunanya. Bunda Nur lalu menghampiri mereka.
“Fahrul, kamu ini bikin ulah apa lagi. Ini lantai jadi basah begini! Ini juga kertas siapa?” Bunda nur berseloroh pada anaknya ynag nakal.
“Tadi embernya kesenggol Bun. Dan itu kertasnya kak Ana, ga sengaja Fahrul ngejatuhinnya.”
Ana diam saja memandangi kertas puisinya yang tulisannya sudah tak terbaca lagi. Ia membatin. Hatinya menangis.
“Ana, itu kertas penting ga?” tanya bunda.
“ga, kok. Itu cuma kertas biasa.” Ana tertegun.
“aduh, punya anak ga ada yang bener. Yang sulung, malesnya minta ampun. Yang bungsu, nakalnya setengah mati. Sekarang ini jadi kerjaan Bunda lagi.” Celoteh bunda Nur sambil membersihkan lantai yang basah. “Lihat An, kakakmu itu pemalas sekali, kerjaannya nonton TV tiap hari. Nah adikmu, nakalnya bener-bener. Bunda pusing ngadepin mereka berdua.”
Ana tak merespon perkataan Bundanya. Dia sibuk memunguti kertasnya, dan disimpannya kembali di meja belajarnya. Lagi-lagi Ana yang mengalah. Ia merasa sangat kecewa. Bukan karena harus menggantikan kakaknya mencuci piring, atau karena kertasnya yang basah karena ulah Fahrul. Tapi, karena Bundanya yang sama sekali tak menghiraukan perasaannya. Juga karena Bundanya yang tidak tegas pada Fira dan Fahrul.
Semalas dan senakal apapun Fira dan Fahrul, tak pernah Bunda Nur memarahi kedua anaknya itu. Paling cuma diperingati sedikit, padahal mereka berdua itu salah. Bunda Nur seperti selalu luluh pada mereka. Sehingga Ana lagi yang harus selalu mengalah. Ana sebenarnya cuma khawatir Bundanya salah mendidik anaknya. Padahal, jika anak berbuat salah, orangtua juga wajib menasehati atau bahkan memarahi anaknya.
* * *
Sudah jam sembilan malam. Fira dan Fahrul sudah tertidur pulas di kamarnya. Sementara Ana, ia baru selesai menulis ulang puisinya yang tadi basah. Ia lalu keluar, hendak melihat Bundanya untuk memastikan apakah Bundanya sudah tertidur atau belum. Ia membuka gordeng kamar Bundanya, dan didapatinya Bundanya masih terjaga. Ana lalu menghampirinya.
“Bunda, Bunda belum tidur? Bunda sakit yah?” tanya Ana sambil duduk di samping Bundanya.
“ga, Bunda cuma kecapekan sedikit.”
Tanpa disuruh, Ana lalu memijiti kaki Bundanya.
“makasih Yah An, kamu memang anak yang baik. Kamu berbeda dengan kakak dan adikmu. Bunda pusing banget ngadepin mereka.” Ujar Bundanya mengeluh.
“Ana cuma melakukan yang seharusnya dilakukan seorang anak kepada orangtuanya kok Bun.”
“iya, tapi kenapa Fira dan Fahrul ga seperti kamu yah?”
“mungkin, belum. Oh iya Bun, kenapa Bunda ga pernah memarahi dan menasehati kak Fira dan Fahrul kalau mereka berbuat salah?” akhirnya Ana mengeluarkan undek-undeknya juga.
“Bunda takut kalau mereka akan berbalik melawan atau memarahi Bunda jika Bunda menasehati dan memarahi mereka. Tapi, Bunda tahu mereka itu sayang sekali kepada Bunda. Buktinya mereka selalu jadi juara kelas untuk Bunda. Bunda ga bisa memarahi mereka. Mereka itu anak perempuan sulung dan lelaki bungsu Bunda. Dan saat hamil mereka, rahim Bunda mengalami kelainan. Bersyukur mereka berdua bisa lahir dengan normal dan selamat.”
Ana terdiam mendengarnya. Dia tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Rupanya itulah alasannya. Jadi, sebaik apapun Ana, tetap kasih sayang Bundanya pada Fira dan Fahrul, tak akan sama dengan kasih sayang Bunda pada Ana. Ana membatin. Dia merasa, dia memang tidak punya kelebihan apa-apa untuk disayang Bundanya. Tapi, meski begitu, Ana tetap menyayangi Bunda dan kedua saudaranya.
“An, kalau nanti Bunda sudah tidak ada, kamu jaga kak Fira dan Fahrul yah! Sayangi mereka!” kata Bunda Nur pada Ana.
“Jangan ngomong begitu Bun! Kematian itu tidak ada yang tahu. Bisa saja dia sedang menunggu Ana, dan Ana yang mendahului Bunda.”
* * *
Pagi yang cerah. Ana berangkat sekolah dengan semangat. Dia akan mengikuti perlombaan itu. Di hatinya tersimpan harapan dan doa, semoga ia bisa menang dan bisa membanggakan Bundanya.
“Dan, pemenang Lomba Membuat Dan Membaca Puisi Antar Sekolah, adalah...... Ana Zannatunnisa...”
Dengan kebahagiaan yang terpancar dari senyumnya, ia naik ke panggung dan menerima tropi serta hadiah berupa uang tunai untuk pendidikan.
* * *
Jam tiga sore lewat. Karyawan Bank sudah keluar dari kantornya.
“Ana? Sedang apa kamu disini?” tanya Bunda Nur, keget melihat Ana yang sedang duduk di dekat pos satpam.
“Ana nunggu Bunda. Ana mau kasih ini buat Bunda.” Jawab Ana sambil mengulurkan tangannya yang sedang memegangi tropi dan hadiah lomba tadi.
“ini apa An?” Bunda Nur heran.
“Ana menang lomba membuat dan membaca puisi antar sekolah Bun. Dan tropi serta hadiahnya, Ana persembahkan untuk Bunda.”
“Masya Allah.. Kamu ternyata hebat sekali An. Bunda bangga sama kamu.” Bunda Nur terharu. Ia menebar senyum kegembiraan untuk anaknya itu.
Ana merasa bahagia sekali bisa membuat bangga Bundanya. Juga bisa mendapatkan senyuman kegembiraan dari Bundanya.
“ya sudah, Bunda traktir kamu beli Pizza yah sebagai hadiah dari Bunda?” Ana tersenyum lalu mengangguk.
Mereka akhirnya berjalan untuk makan Pizza dan menyebrang jalan. Ketika Bunda Nur nyebrang, Ana malah melamun di tepi jalan. Dan saat Ana tersadar, ia melihat mobil melaju cukup kencang dari arah kanan Bundanya. Tanpa berpikir apa-apa, Ana langsung lari mendorong Bundanya sampai Bundanya tersungkur ke tepi jalan. Dan naas, mobil berkecepatan tinggi itu menabrak Ana. Ana terlempar ke trotoar. Kepalanya membentur trotoar keras sekali. Darahnya tiba-tiba mengucur banyak sekali. Dan seketika orang-orang berkerumun di tempat kejadian.
Bunda Nur kaget setengah mati melihat anaknya terkapar. Di rangkulnya anak baiknya itu.
“Ana, kamu bertahan sayang. Kamu ga akan apa-apa.” Ujar Bunda Nur sesenggukan sambil memeluk anaknya erat-erat. Ana terlihat masih sedikit sadar.
“Bu..Bunda, Ana minta maaf sama Bunda. Ana minta maaf kalau cinta Ana ke Bunda ga sebesar cintanya kak Fira dan Fahrul. Ana minta maaf, karena baru bisa membuat Bunda bangga sekarang.” Ana terbata-bata mengucapkan kata-kata itu.
“sudah sayang, Bunda memaafkan Ana.” Bunda Nur makin ketakutan.
“Bunda, Ana mencintai Bunda melebihi Ana mencintai diri Ana sendiri.”
“Bunda juga mencintai Ana. Sangat mencintai Ana.”
“Ana cuma mau bilang, kalau Ana cinta Bunda karena Allah...”
Air mata Bunda Nur tak tertahankan lagi melihat anaknya sekarat. Dengan lemah, Ana mengusap pipi Bundanya sambil menunjuk-nunjuk ke pipi Bundanya. Bundanya mengerti. Bunda pun tersenyum untuk anak baiknya itu. Dan akhirnya, Ana pergi dengan membawa senyuman terakhir Bundanya.

 17/7/2011, 6.06pm


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Love Sparks in Korea Karya Asma Nadia

Kenapa (Saya) Tak Menulis?

Carilah Sahabat dan Berbuat Baiklah Padanya!