Only Hope
Ini
bukan hanya tentang cinta, tapi harapan yang berpilin sebagai doa di langit-Nya.
---------------------------
“Terima kasih Ya Alloh karena masih
memberiku kesempatan melihat sang bintang harapan di tiap pagiku. Dan untukmu
penjajah hatiku, selamat pagi.”
Begitu biasa Dinara memulai harinya
di tiap pagi sebelum beraktifitas. Dua kalimat di awal rutinitas harinya itu
telah menjadi suatu hal yang hampir tak pernah dia lupakan semenjak lima tahun
terakhir. Seperti itu pula dengan hari ini.
Baginya, tiap hari terasa indah.
Penuh dengan harapan dan optimisme. Kenapa? Karena ada dia. Karena ada cinta di
hatinya. Gana, sang penjajah hatinya. Lelaki itu telah menjadi pangeran dalam
hatinya selama hampir lima tahun ini. Sosoknya seperti telah begitu menyatu
dalam jiwanya hingga dia tak bisa lagi berpaling pada lelaki lain. Bagi Dinara,
Gana adalah seorang lelaki yang luar biasa. Gana adalah instrumen terpenting
dalam hidupnya.
Konyol sekali kedengarannya. Tapi
begitulah dia mencintainya, mencintai Gana. Ah bukan, menggilainya tepatnya. Dinara
tak peduli jikapun orang menganggapnya bodoh karena cinta itu. Dia hanya senang
seperti itu. Dan selama hampir empat tahun terakhir, Aivi lah yang tahu
kegilaan Dinara itu. Aivi adalah sahabatnya sejak dia masuk kuliah hingga
mereka baru saja lulus kuliah saat ini. Meski begitu, Aivi tak pernah tahu
lelaki mana yang sebenarnya dicintai sahabatnya selama ini. Ia hanya tahu kalau
Dinara mencintai seorang lelaki bernama Gana. Itu pun entah pasti atau tidak.
“Kau melamun? Dia lagi?” tiba-tiba Aivi
menepuk pundak Dinara, membangunkan ia dari lamunannya yang sedang berpetualang
ke negeri antah berantah, mencari sesosok pangeran yang ia rindukan. Aivi lalu
duduk disamping Dinara sambil memerhatikan orang lalu-lalang di taman kota.
Hari minggu pagi memang jadwal rutin mereka pergi ke taman kota.
“Hah, kau tanya apa Vi?” Dinara
melongo.
“Emm benar tebakanku! Sampai kapan Gana
akan membuatmu seperti ini?!” ujarnya.
“Seperti ini? Memangnya aku kenapa?
Aku baik-baik saja.”
“Yah, mudah-mudahan memang benar kau
tak apa-apa. Jangan sampai gara-gara dia, kau menutup mata dari kenyataan.”
“Maksudnya?” Tanya Dinara heran.
“Iya, bukankah kenyataannya kalian
memang tidak pernah ada hubungan apa-apa? Dan entah perasaan seperti apa yang
membuatmu begitu menggilainya. Cinta, penasaran, atau hanya obsesi?”
Jleb. Hati Dinara bergetar mendengar
perkataan Aivi itu. Ia tidak tau kenapa, ada rasa sakit yang mengiris hatinya. Ia
ingin menangis mendengarnya. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak
meneteskan air mata. Pilu rasanya.
“Di, kau baik-baik saja?” Aivi menatap
Dinara dengan raut khawatir.
“Mmh. Iya.” Dinara mengangguk. Tapi
ia bohong. Hatinya sama sekali tidak baik. Baginya perkataan Aivi itu adalah
suatu pukulan maha dahsyat yang langsung menyadarkannya akan sesuatu
ketidakpastian.
Batinnya
menangis. Menyedihkan sekali rasanya. Benar kali ini ia terluka. Ini kenyataan.
Aivi telah membangunkannya dari mimpi-mimpi itu. Tapi, Dinara tidak bisa jujur
pada dirinya sendiri. Dinara tidak ingin mengiyakan apa yang telah Aivi
katakan.
Lima tahun mencintai Gana dengan
caranya sendiri rasanya cukup membuat ia hampir gila. Tapi, Dinara sangat
menyenangi kegilaannya itu. Ia tak bisa dengan mudah kembali sadar dan
melepaskan cintanya.
Dinara hanya diam. Tak sepatah kata
pun keluar dari bibirnya yang kelu itu. Ia hanya sedang berpikir saat ini.
Berpikir tentang kata-kata Aivi tadi. Berpikir tentang dirinya, Gana dan
perasaannya. Dan juga berpikir tentang sahabatnya itu, Aivi.
Kenapa Aivi
bisa berkata dan berpikir seperti itu? Kenapa
baru sekarang dia berkomentar seperti itu setelah beberapa lama kami bersama? Apa
dia telah begitu jengah dengan kegilaanku itu hingga dia bepikir seperti itu?
Atau apakah memang cintaku pada Gana begitu salah di matanya? Kenapa?
Dinara merasa heran pada sahabatnya
itu. Batinnya terus bertanya-tanya. Dinara merasa tak ada yang salah dengan
perasaannya pada Gana. Ia hanya ingin mencintai seseorang seperti itu. Ia hanya
ingin jadi seorang Dinara yang dengan segenap cinta dan doanya berhasil menjaga
hatinya hanya untuk seorang Gana saja.
Lalu
kenapa Aivi membuatku terlihat begitu menyedihkan? Hei, aku tak pernah
merugikan siapapun dengan perasaanku itu. Pun aku tak pernah merasa dirugikan
sedikitpun oleh cintaku itu. Lagipula, aku yakin Gana tak pernah keberatan
dengan keberadaan hatiku yang tak pernah menjamahnya sedikitpun. Tak pernah
pula aku berusaha menyentuh hati Gana. Aku hanya mencintainya dari sudut
terindah yang bisa kurasa, dengan tetap membiarkan Gana aman dan nyaman dalam
dunianya sendiri. Lalu, apa yang salah?
Aah, Dinara tidak bisa berpikir
terlalu banyak lagi. Hatinya masih ngilu. Mungkin Aivi hanya terlalu sayang
padanya. Iya mungkin begitu.
* * *
Satu hari, dua hari, tiga hari, beberapa
hari berlalu. Hari-hari Dinara berlalu seperti biasa. Tapi, hari-harinya jadi
terasa menjemukan sekarang. Entah kenapa. Ia merasa kehilangan sedikit
kebebasan untuk merasakan dalam-dalam getaran cintanya pada Gana. Yah, semenjak
Aivi melontarkan ‘undek-undeknya’ tentang kegilaannya itu, Dinara merasa
sedikitnya ada yang membatasi kebebasannya. Tapi, mungkin saja Aivi benar.
Ia sama sekali tak marah pada
sahabatnya itu. Tidak. Sungguh. Ia hanya merasa perlu waktu yang lama -entah
seberapa lama- untuk mencerna perkataan Aivi lalu kemudian memahaminya. Dinara
merasa apa yang dikatakan Aivi memang benar, yakni antara dia dan Gana tak
sedikitpun ada hubungan apa-apa, tapi apakah salah jika ia mencintai Gana
dengan caranya sendiri? Hanya itu.
To be only yours, I pray, To be only yours…I know now
you’re my only hope
Suara merdu Mandy Moore melengking indah
dari ponsel Dinara. Nada dering untuk panggilan masuk. Dinara membuka flap
ponselnya.
“Di..
hallo.. kau baik-baik saja?”
“Hallo..assalamualaikum
Aivi. Tak biasanya kau menelpon. Ada apa?”
“Eh,
waalaikumsalam. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tanya, apa kau sudah
melupakannya?”
Deg.
Apa? Apa yang baru saja Aivi tanyakan? Dinara benar-benar kaget mendengarnya.
Sungguh. Tak semudah itu melupakannya, Aivi. Dinara berkata-kata dalam hatinya.
Belum sempat ia menjawab, Aivi sudah nyerocos di ujung sana.
“Kau
harus melupakannya. Sudah cukup Di. Cinta itu bisa merusakmu, melenakanmu. Kau
harus melupakannya. Ah, Ya Alloh. Bagaimana caranya menghentikanmu? Apa sesulit
itu? Sungguh. Kumohon lupakan dia. Kau harus memulai semuanya dari awal.
Bukalah mata dan hatimu Di. Lupakan dia.”
Ya
Alloh. Kenapa Aivi bersikap seperti itu? Kenapa? Apa dia tak tahu kalau yang ia
katakan membuatku sakit. Benar-benar membuatku sakit. Sungguh. Tak semudah itu.
“Hallo.. Di? Kau masih di sana? Kau
baik-baik saja?”
“Mmh.
Aku akan mencobanya.” Dinara menjawab sekenanya.
“Bagus.
Aku selalu ada untukmu. Sudah ya. Assalamualaikum.”
Tut.
Sambungan terputus. Waalaikumsalam. Dinara mendesah pelan. Ia masih memegang
ponselnya. Lagi-lagi dia merasa sulit untuk mencerna dan kemudian memahami apa
yang sudah Aivi katakan barusan. Selalu begitu. Logikanya selalu berfungsi
lebih lambat dibandingkan perasaannya. Ia hanya bisa meneteskan air mata. Rasa
sakit -tentu saja rasa sakit yang diakibatkan oleh perkataan Aivi tempo lalu-
yang sudah hampir bisa ia lupakan, kini kembali hinggap di hatinya.
Ya
Alloh.. apa selama ini aku terlihat seperti orang tak waras? Kenapa Aivi
bersikeras bersikap seperti itu? Apa dia sudah benar-benar jengah melihat
kegilaanku itu? Ya Alloh..apa yang salah dari semua yang aku rasakan selama
ini? Dan apa? Aivi berkata kalau cinta ini bisa merusakku, melenakanku? Tidak.
Sama sekali tidak. Cinta ini justru menguatkanku. Mengubahku menjadi lebih
baik. Memberiku harapan di setiap hariku. Memberiku nafas untuk tetap bertahan
dalam kesendirian. Memberiku semangat dalam menghadapi berbagai masalah hidup.
Dan yang terpenting, cinta ini selalu mendekatkanku pada-Mu. Ya Alloh..apa Aivi
tak tahu semua itu? Melupakan Gana bukanlah hal yang mudah dan memang bukan hal
yang aku inginkan. Tidak sama sekali.
Pandangan Dinara kabur. Ia bukan hanya
meneteskan air mata, tapi menangis sesenggukan. Ia memegang dadanya. Ada yang
sakit di sana. Benar-benar sakit. Ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia lalu
membuka tas yang tergeletak di sana. Direngkuhnya sebuah sapu tangan
kotak-kotak biru muda. Ada tulisan kecil di salah satu sudutnya. Gana.
Apakah
aku benar-benar harus melepaskan semua perasaanku padamu? Apakah aku tak boleh
lagi mencintaimu -meski pastinya kau tak pernah tahu hal itu? Apakah aku harus
mengubur dalam-dalam semua harapanku tentangmu? Tapi, aku benar-benar ingin
bertemu denganmu. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Meski hanya untuk satu kali
lagi. Meski hanya untuk beberapa detik saja. Itu tak apa. Sungguh. Aku hanya
ingin berterima kasih padamu, Gana. Berterima kasih untuk semuanya. Ya. Aku
belum sempat melakukan itu.
Dinara
bergumam lirih sendirian. Didekapnya sapu tangan itu erat-erat. Lalu,
pikirannya beralih ke suatu malam, lima tahun silam. Saat ia masih berusia
tujuh belas tahun. Saat ketika ia belum seperti sekarang. Saat dimana satu hal berhasil
mengubah hidupnya.
Saat itu, Dinara tengah berjalan
sendirian ketika seorang om-om mencoba merayunya untuk ikut bersamanya.
Bagaimanalah om-om itu tidak bersikap demikian, penampilan Dinara saat itu
lebih mirip dengan wanita malam. Ditambah pula ia berjalan sendirian di kala
malam telah sepenuhnya pekat. Mana ada wanita baik-baik keluyuran tengah malam
dengan penampilan seperti itu coba?
Dinara mati-matian menolak
-karena memang dia toh bukan wanita malam yang dikira om-om itu-, sementara si
om-om mati-matian memaksanya. Dinara berteriak meminta tolong. Dan di saat itu,
seorang pemuda -yang entah kebetulan lewat atau memang telah sengaja dikirim
Tuhan- mendekati Dinara yang sedang berusaha melepaskan diri dari si om-om.
“Tolong lepaskan dia Pak. Dia ini
adik saya. Dia wanita baik-baik dan bukan wanita seperti yang Bapak kira. Sungguh
Pak, dia wanita baik-baik. Hanya saja, dia belum cukup dewasa. Tolong jangan
ganggu dia Pak. Bapak akan menyesal jika melakukannya.” Pemuda itu berkata
dengan nada memohon pada si om-om. Si om-om yang entah kenapa merasa percaya
dengan yang dikatakan pemuda itu langsung melepaskan Dinara. Ia bergegas
meninggalkan tempat itu sambil bersungut-sungut, “Urus adikmu itu. Mungkin lain
kali ia tak akan selamat jika masih seperti itu.” Pemuda itu hanya mengangguk.
Suasana malam itu begitu sunyi
dan lengang. Dinara yang merasa shock dengan kejadian itu menangis sesenggukan
di tepi jalan. Pemuda itu menghampirinya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan
dari dalam saku celananya dan mencoba menenangkan. Dia kemudian membawa Dinara
ke dalam mobilnya dan mengantarkan Dinara pulang. Ia lalu menanyakan alamat
gadis itu. Tak berapa lama, mobil pemuda itu sampai di depan sebuah rumah
mewah. Rumah Dinara. Mereka berdua lalu turun dari mobil itu.
“Aku bukan wanita seperti itu.”
Ujar Dinara yang masih menangis.
“Om-om tadi atau pria manapun pasti
tidak akan berani mengganggumu jika kau tak keluyuran tengah malam begini dan
penampilanmu tak seperti itu. Tapi, aku percaya kau wanita baik-baik. Sungguh.”
Pemuda itu kembali ke mobilnya. Meninggalkan Dinara yang masih terpaku.
Mobilnya melesat menjauh dari hadapan Dinara.
Dinara tersadar. Dia melihat
sekeliling dan mendapati ia sendirian di sana. Lalu, dia melihat sapu tangan di
genggaman tangannya. Sapu tangan kotak-kotak biru muda. Pandangannya tertuju
pada tulisan yang dijahit dengan benang hitam di salah satu sudut sapu tangan
itu. Gana. Hatinya berdesir halus ketika mengingat pemuda yang baru saja
menolongnya itu. Pemuda baik hati yang sama sekali tak dikenalnya.
Sejak saat itu, Dinara berubah.
Gaya hidupnya, penampilannya, tingkah lakunya, tutur katanya, pemikirannya.
Semuanya berubah menjadi lebih baik. Sungguh, kekuatan cinta yang begitu indah.
Bertahun-tahun ia selalu berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengan pemuda
yang telah menyelamatkan hidupnya itu. Ia selalu ingat kalau ia belum sempat berterima
kasih pada pemuda itu, hingga saat ini.
To be only yours, I pray, To be only yours…I know now you’re
my only hope
Panggilan masuk. Bayangan masa lalu itu kemudian memudar. Dinara
menyeka air matanya. Lalu ia membuka flap ponselnya.
“Assalamualaikum Aivi. Kenapa lagi?”
“Waalaikumsalam. Aku lupa memberitahumu Di. Minggu depan, datanglah ke
rumahku. Ada syukuran. Oya, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Seseorang
yang sangat aku sayangi. Emm kau pasti menyukainya. Ah hati-hati, kau bisa
mencintainya. hehe”
“Kenapa?”
“Ya, karena dia memang pantas disukai, dicintai. Sudah ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dinara menghela nafas. Akhir-akhir ini ia lebih sering menghela nafas.
Entah kenapa. Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan
Aivi barusan.
Mengenalkanku pada seseorang
yang sangat ia sayangi? Menyukainya? Mencintainya? Siapa? Syukuran? Ah, iya. Jangan-jangan
Aivi akan dilamar. Seseorang yang ia maksud adalah calonnya barangkali. Iya.
Begitu sepertinya. Tapi, kenapa dia tak pernah bercerita sebelumnya padaku? Ah,
sahabat macam apa aku ini? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi dalam
kehidupan Aivi selama ini. Mungkin, karena aku terlalu sibuk dengan kegilaanku
itu. Ya Alloh.. Aivi, maafkan aku.
* * *
Seminggu berlalu
begitu cepat. Tapi, bagi Dinara waktu jadi terasa begitu lambat. Itu karena
perasaannya sedang begitu tak menentu. Yah, begitulah.
Dinara sudah sampai di depan rumah Aivi. Banyak mobil berjejer di sana.
Sepertinya, semua keluarga besar Aivi sedang berkumpul untuk acara syukuran
itu.
Dinara melangkah masuk ke rumah besar itu. Pandangannya langsung
tertuju ke dalam rumah. Banyak orang di dalam sana. Dan, Ya Alloh.. jantung
Dinara hampir berhenti berdetak. Nafasnya tiba-tiba sesak. Ia melihat Aivi di
sofa ruang tamu. Tapi, perhatiannya bukan tertuju pada sahabatnya itu,
melainkan pemuda tampan di samping Aivi. Pemuda itu, Dinara yakin pernah
melihatnya. Ya, bagaimana mungkin ia lupa? Tapi, kenapa pemuda itu ada di sini?
Dan..dan..pemuda itu terlihat begitu dekat dengan Aivi. Apa mungkin? Dinara
tiba-tiba langsung memegang dadanya. Ada yang menggerogoti hatinya lagi. Dan
kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
Bagaimana mungkin seperti ini
Ya Alloh? Kenapa harus Aivi? Kenapa Aivi harus bersama Gana? Dan, mereka
terlihat benar-benar akrab. Mereka sedang bercanda. Aivi tersenyum, tertawa.
Itu sempurna ekspresi bahagia dari Aivi. Bagaimana mungkin? Ya Alloh.
Dinara masih mematung di depan pintu. Kakinya lumpuh seketika. Matanya
perih. Sungguh perih. Tapi, bagaimanalah ia akan menangis di saat seperti itu? Beribu
pertanyaan menyesaki benaknya satu per satu.
Apakah ada yang pernah
merasakan ketika senyuman orang lain nyatanya justru membawa luka di hati kita?
Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika tawa orang lain tak sadar
justru membuat air mata kita terjatuh? Aku pernah. Apakah ada yang pernah
merasakan ketika kebahagiaan orang lain sebenarnya tidak -sama sekali tidak-
membuat hati kita bahagia juga? Aku pernah. Ya. Aku pernah merasakan itu semua.
Di sini. Saat ini. Entah perasaan macam apa namanya. Yang jelas, ini sungguh
menyakitkan.
“Dinara.. kau sudah datang? Ayo
sini.” Suara Aivi tiba-tiba menyadarkan Dinara yang sedang terpaku. Aivi
menghampiri Dinara dan membawanya masuk. Entah kenapa, Dinara merasa sulit
untuk melangkahkan kakinya. Dengan enggan akhirnya ia menapakkan kakinya
selangkah demi selangkah. Mereka lalu duduk tepat di hadapan pemuda itu. Pemuda
itu tersenyum manis pada Dinara. Hati Dinara semakin ngilu.
“Bagaimana,
kau menyukainya bukan?” ujar Aivi sambil menepuk pundak Dinara. Dinara tak
berani menjawabnya. Andai saja Aivi tahu, pemuda itu adalah pangeran hati
Dinara selama lima tahun ini.
“Bagaimana,
kau menyukainya bukan?” Aivi melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Namun, kali
ini bukan pada Dinara. Melainkan pada pemuda di hadapannya. Pemuda itu hanya
tersenyum. Wajahnya memerah. Dinara masih tak mengerti.
“Namanya
Rida Lenggana. Dia saudara sepupuku. Ah, kau pasti tak ingat? Ya, mana mungkin.
Selama ini kau sibuk dengan Gana mu itu. Bukankah aku pernah menceritakannya
padamu beberapa kali? Rida, saudara sepupuku yang sejak lima tahun lalu kuliah
di Turki dan sudah punya pekerjaan tetap di sana. Ya ampun Di, kau benar-benar
tak pernah mendengarkan ceritaku sepertinya.”
Seperti
biasa, Aivi nyerocos tanpa memperhatikan respon si pendengar. Sementara itu,
Dinara merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia masih juga tak
bersuara.
Sepupu? Bukan calon suami? Ya ampun, kenapa aku begitu
cepat menyimpulkan?
“Kau tahu
Di? Aku sangat menyayanginya. Dia lelaki baik dan pantas mendapatkan yang baik
pula. Dulu dia pernah menyukai seorang wanita yang ditemuinya suatu malam di
jalan kota. Dia bilang dia tak bisa melupakan gadis itu. Tapi, untunglah Rida
tak sepertimu yang sulit sekali melupakan Gana. Dia langsung menyukaimu ketika
pertama kali aku menunjukkan fotomu empat tahun lalu. Dia semakin menyukaimu
sewaktu aku bercerita banyak tentang kau. Setiap kami berkomunikasi, dia selalu
menanyakan kabarmu dan memintaku bercerita tentangmu, semua hal tentangmu. Tapi,
dia melarangku memberitahumu. Dia ingin agar kau tetap seperti itu, menggilai
Gana. Dia tak ingin mengusik kegilaanmu itu katanya. Tapi sewaktu dia pulang dari Turki
minggu lalu, dia akhirnya memintaku untuk mengenalkanmu langsung padanya.
Karena itu aku bersikeras menginginkan kau melupakan Gana. Aku pikir, kau pasti
akan menyukai sepupuku ini. Kalian sangat cocok.”
Dinara
masih diam. Tapi, kali ini rasa sakitnya berangsur hilang. Tergantikan oleh
perasaan yang entah apa namanya. Bahagia, terharu dan apalah itu. Yang ia
pikirkan hanyalah bagaimana mungkin ini terjadi? Sementara itu, pemuda di
hadapannya bersemu merah.
“Aku suka
nama Gana. Aku ingin dipanggil begitu. Sungguh. Ah, tapi tak ada yang tahu hal itu. Semua orang malah memanggilku Rida.”
Pemuda itu terdiam sesaat. Lalu dengan terbata ia melanjutkan. “Emm.. Apa..apa
kau mau ikut bersamaku ke Turki? Tentunya, setelah kita menikah di sini.”
Pemuda bernama Rida Lenggana itu baru saja mengucapkan kata-kata yang sudah
lama ingin ia sampaikan pada gadis di hadapannya. Gadis yang sudah ia sukai
sejak pertama kali bertemu lima tahun lalu di suatu malam ketika ia menikmati
malam terakhir di kota kelahirannya sebelum ia berangkat ke Turki. Perasaan
lega, cemas dan bahagia bercampur aduk di hatinya.
Dinara
tak kuasa menahan air matanya terjatuh kali ini. Biarlah semua orang melihat ia
menangis saat ini. Karena toh selama ini tak ada yang tahu bagaimana ia
menangis dalam kesendiriannya, bagaimana ia menangis menahan semua perasaannya,
bagaimana ia menangis di setiap harapan yang ia panjatkan dalam doa-doanya.
Biarlah.
Dinara
mengeluarkan sapu tangan kotak-kotak biru muda bertuliskan nama Gana -yang selalu ia bawa kemanapun- dari tas
tangannya. Sambil mengangguk ia berikan sapu tangan itu pada pemiliknya.
“Terima kasih, untuk semuanya.” Ujarnya lirih sambil berurai air mata. Pemuda
itu tersenyum saat menerima kembali sapu tangan miliknya.
Aivi
melongo melihat pemandangan di hadapannya. “Ya ampun, jadi selama ini?”
---------------------------
Dan ketika harapan yang kita panjatkan dalam setiap
doa-doa kita tak langsung dijawab-Nya dengan kata Ya atau Tidak, maka
sesungguhnya Ia menjawab, “Tunggu, Aku akan berikan yang terbaik untukmu pada
waktunya.”
*Tuesday, April 23rd, 2013 – 09.35 p.m*
Komentar
Posting Komentar