WARNA-WARNI HUJAN
Jika
merah adalah cinta dan kuning adalah persahabatan, maka Jingga adalah
kebahagiaan.
Kudengar
di luar hujan turun begitu deras seolah menggambarkan kecemasannya akan
takdirku. Seolah ikut merasakan segala kegalauan dan kesedihan yang tengah
kurasakan. Seolah ingin berkata, “Jingga, tak usah kau lara begitu, lihatlah
pelangi yang akan datang setelah aku pergi.” Ah sudahlah, selalu saja begitu
pikiranku. Terlalu banyak berfantasi. Entah kenapa, setelah kejadian tragis
itu, aku semakin sering berfantasi, berimajinasi atau lebih parah berhalusinasi.
Terlebih ketika hujan deras mengguyur seisi kota. Ya, memang benar sepertinya
hujan berperan penting dalam membangkitkan kenangan dan hujan menciptakan lagu
indah bagi orang tertentu yang memiliki daya fantasi tinggi. Mungkin aku
termasuk salah satu orang itu. Atau, mungkin saja aku hampir tak waras.
Entahlah. Aku sendiri takut jika aku menjadi gila. Gila karena emosi yang
meletup-letup. Gila karena depresi tak terkendali. Ah, lupakan!
Kau
ingat? Saat itu hujan deras mengguyur kota. Kita terjebak di kampus setelah
sibuk dengan rutinitas kegiatan jurusan yang kita adakan. Tak sadar hanya
tinggal aku dan kau yang masih ada di ruang HIMA (Himpunan Mahasiswa). Aku duduk
di dekat pintu, memegang ponselku erat sambil terus melihat-lihat barangkali
ada sms atau telpon yang masuk. Aku begitu gelisah menunggu Gemilang datang.
Aku sungguh tak suka sendirian bila hujan deras turun.
Tanpa sengaja, pandanganku beralih
ke pojok ruang HIMA yang berukuran sedang, mungkin sekitar 4x4m. Aku lihat kau
menyandarkan tubuhmu di dinding. Matamu terpejam dan kedua tanganmu kau
letakkan di depan dada. “Dia tampak lelah, mungkin karena capek ngurusin
kegiatan yang dia pimpin.” Ujarku dalam hati. Tapi, aku menyadari beberapa hal
saat itu. Pertama, aku baru menyadari bahwa kau memang seorang yang berjiwa
kepemimpinan tinggi. Selain karena tanggung jawab dan disiplinmu yang tinggi,
kharismamu pun terlihat seperti seorang pemimpin. Lalu, aku pun menyadari bahwa
kau memang sosok lelaki sempurna yang diidam-idamkan para wanita. “Hei, kemana
saja aku!” pikirku saat itu. Dan yang terakhir, aku menyadari bahwa baru
pertama kalinya aku hanya berdua satu ruangan denganmu dalam jarak yang cukup
dekat. Ada perasaan aneh menjalar tubuhku. Serasa geli hatiku, tapi sedikit
ngilu. Ah, aku tak tau apa-apa saat itu. Yang kupikir mungkin karena kau
seorang ketua HIMA jurusan
kita saat itu, dan aku cuma anggotamu.
“Kenapa belum pulang Ngga?”
ujarmu kalem sambil tetap memejamkan mata, membuyarkan pikiranku, menyadarkan
aku yang tengah memikirkanmu saat itu.
“ah ya, aku boss?” salting aku rasanya saat itu.
“Memangnya ada yang lain selain
kita berdua disini?” kau tersenyum dan matamu masih tetap terpejam. Aku melihat
kau sungguh tampan saat itu.
“Emmh, aku memang sudah ingin
pulang sejak sebelum hujan tadi. Tapi, Gemilang masih belum juga datang, entah
kemana dia.” Keluhku sambil melihat kembali ponselku. Perlu kuceritakan. Gemilang
sudah menjadi sahabatku sejak kecil. Seperti adikku sendiri. Dia begitu lembut,
baik dan sangat melindungiku. Semua teman-temanku hampir mengenalnya. Walaupun
aku dan Gemilang beda tingkatan – dia satu tingkat lebih muda dibanding aku – kami
selalu pulang dan pergi bersama sejak kecil. Bukan saja karena kami sahabat,
tapi memang tidak ada yang mau berteman dekat denganku dari dulu. Entah kenapa.
Kau melangkah mendekat ke
pintu, duduk di sampingku. “Kau tampak gelisah sejak tadi? Kau takut?” Kau
melihatku, aku pun melihatmu. Mata kita beradu. Hatiku berdesir halus kala
melihat binar matamu.
“A a aku tak suka sendirian
saat hujan deras boss. Orang-orang
yang kusayang selalu pergi meninggalkanku disaat hujan deras turun. Ibu, kakak
dan adikku meninggal akibat kecelakaan misterius saat hujan deras turun. Sepertinya
aku hampir membenci hujan. Aku tak mau berdamai dengannya”
“Lingga. Namaku Lingga.”
Tegasmu sambil menyunggingkan senyum kecil. “Hujan takkan menerkammu. Bukan
hujan yang membawa mereka pergi, tapi itu memang telah ada dalam catatanNYA.
Hujan itu berkah dan indah. Percayalah.” Senyummu merekah semakin manis,
membuatku betah melihatmu lama-lama.
Lalu setelah beberapa lama kita
berpandangan, tiba-tiba kau bangkit dan menarik tanganku. Kau membawaku menuju
hujan yang cukup deras saat itu. Aku terpaku sejenak, menyaksikan tingkah
anehmu. Seorang Lingga yang disegani banyak mahasiswa berlaku demikian padaku.
Aku hanya berjalan pasrah
mengikuti langkah kakimu. Kita berjalan di bawah guyuran hujan yang begitu
deras. Aku hanya memandang wajahmu yang nampak begitu menikmati setiap tetesan
air yang penuh berkah itu. Kau sangat tampan. Sangat mempesona. Entah kenapa
kau begitu menikmati hujan kali itu, dan entah kenapa aku tak merasa benci pada
hujan saat itu.
Kau tahu, sejak saat itu aku
kembali menyukai hujan. Sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa ayah, ibu dan
adikku terjadi, aku sangat mencintai hujan. Aku tak pernah membiarkan hujan
berlalu begitu saja. Aku selalu menikmati setiap tetesan air yang merelakan
dirinya jatuh ke bumi itu. Membiarkan ia membasahi setiap jengkal tubuhku.
Sungguh suatu nikmat yang tiada tara. Ya, walaupun ayah selalu memarahiku
sehabis itu.
Namun, setelah kecelakaan itu
terjadi, aku tak menyukainya lagi. Hampir membencinya kalau boleh bilang
begitu. Betapa tidak, dia begitu kejam membiarkan ketiga orang yang paling
kusayangi itu meninggalkanku seorang diri. Entah apa penyebab pastinya, tapi
aku tetap menyalahkan hujan atas kejadian tragis itu. Irrational bukan? Tapi memang seperti itu kenyataannya.
Yah, seperti saat ini. Aku ingin
kembali menyalahkannya. Kau menyadarinya Lingga? Dia membiarkan kembali orang
yang kusayang meninggalkanku. Dia membiarkanmu meninggalkan aku. Setelah kau
mengajarkanku kembali menyukai hujan, kau mengajarkan aku tentang hidup ini
hingga mengajarkan aku untuk mencintai dan dicintai, kau pergi di tengah hujan.
Dan bersamaan dengan itu, duniaku jadi gelap.
“Jingga..” Sebuah suara
menyadarkanku, membuatku menghentikan putaran slide kehidupan yang telah kulalui itu. Aku hafal betul seseorang
yang memiliki suara itu. Gemilang.
Dia membuka pintu kamar dimana
aku duduk sendiri saat ini. Terdengar suara langkah kakinya menghampiriku,
duduk tepat di sampingku. Aku masih terdiam.
“Kamu masih belum makan
Jingga?” Tanyanya sambil mengusap lembut rambutku. Aku masih terdiam.
“Makanlah barang sedikit saja.
Tubuhmu semakin kurus. Nanti kau sakit.” Gemilang membujukku. Digenggamnya
tanganku. “Sakit? Yang benar saja, aku sudah begitu sakit saat ini.” Batinku
menggerutu. Air mataku meleleh tak tertahankan lagi. Namun, aku masih saja
terdiam.
Gemilang bangkit dari duduknya,
aku rasa kini ia sedang duduk di hadapanku. “Kenapa kamu nangis? Maaf kalau aku
terus memaksamu untuk makan. Tapi aku sangat mengkhawatirkanmu. Sudah dua hari
ini kamu gak makan atau minum apapun. Bahkan kamu hanya duduk terdiam di kamar
ini. Itu menyedihkan Ngga.”
Air mataku terus mengalir tanpa
henti.
“Tolong, jangan seperti ini.
Ucapkan sesuatu, walaupun itu cuma satu kata. Atau lakukan sesuatu. Marah, menjerit
atau memukulku lebih baik daripada sekedar diam.” Ujarnya sambil menghapus air
mataku. Lalu dia diam untuk beberapa lama. Suasana di kamar ini begitu hening.
“Ayah, ibu dan juga adikmu tak
kan suka melihat keadaanmu saat ini. Dan juga… Lingga.” Gemilang bangkit dari
tempatnya, lalu kudengar langkah kakinya menjauh.
“Aku ingin melihat mayatnya
Lingga.” Akhirnya aku membuka mulut.
Gemilang berlalu tanpa berujar
sepatah kata pun. Aku tahu, ia bingung harus bagaimana mengomentari perkataanku
itu. Aku tahu mayatmu sudah dikuburkan kemarin, Lingga. Dan sekalipun belum
dikuburkan, aku tetap tak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Duniaku gelap
sekarang. Setitik cahayapun sudah tak bisa lagi kulihat. Ini adalah bukti bahwa
hujan memang telah merenggut kembali kebahagiaanku.
Aku tak bisa lupa kejadian dua
hari yang lalu. Hujan turun deras saat itu. Aku di perjalanan hendak ke
rumahmu, Lingga. Ingin memberikan kejutan untuk 1st anniversary kita. Namun, aku begitu terkejut ketika
sesampainya di depan rumahmu, begitu banyak orang berkerumun di sana. Mereka
berlarian mencari air untuk sekedar menghentikan kobaran api yang telah
menjalar di seluruh ruang rumahmu. Padahal saat itu guyuran hujan yang deras
cukup bisa memadamkan dahsyatnya api saat itu. Tapi, lihatlah Lingga? Dia sama
sekali tak melakukannya.
Saat itu, kakiku lumpuh
seketika, badanku mati rasa. Aku bingung dan juga takut. Aku hanya diam melihat
pemandangan yang maha dahsyat itu. Sungguh, aku takut. Lalu, aku terpikirkan
akan dirimu.
“Lingga.. Lingga.. Dimana
Lingga?” Aku menanyakan keberadaanmu pada orang-orang yang berkerumun di sana.
“Dia masih di dalam neng,
sepertinya dia terjebak di sana. Dia sedang tertidur sewaktu ibu dan bapaknya
pergi tadi.” Aku semakin takut dan bingung. Bagaimana kalau sesuatu terjadi
padamu. Rumahmu yang sederhana menjadikan api mudah sekali menjalar ke seluruh
penjuru ruangan di dalamnya. Aku takut. Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi saat
itu. Yang kupikirkan hanya bagaimana
agar kau bisa keluar dengan selamat dari sana.
“Neng jangan neng. Bahaya neng.
Jangaaan!” Terdengar suara orang-orang menahanku untuk masuk ke rumahmu. Tapi,
aku tak mengindahkannya. Hanya kau yang kupikirkan saat itu.
Entah bagaimana caranya aku
sudah sampai di dalam kamarmu. Kulihat kau sedang teronggok lemas di sudut kiri
kamarmu. Api di mana-mana. Aku meraihmu. Mencoba membangunkanmu. Namun,
kekuatan api tak mampu aku lawan. Sebuah lemari kayu kecil di kamarmu
menimpaku. Dan gelap. Aku tak tahu lagi kejadian setelah itu. Yang aku tahu,
aku sudah berada di kamar rumah sakit ini. Namun, sampai saat ini aku tak
mengerti kenapa api begitu hebat menyulut di rumahmu. Darimanakah asalnya? Ah,
entahlah.
* *
Ini hari
ketujuh setelah kejadian yang merenggut nyawamu Lingga. Aku masih di rumah
sakit ini. Masih sendiri. Gemilang, entah kemana dia. Sepertinya dia marah atas
perlakuanku waktu hari itu. Aku membutuhkan Gemilang saat ini, Lingga.
Kau tahu Lingga? Hari ini aku
akan dioperasi. Kata dokter, ada seseorang yang mau berbaik hati mendonorkan
retinanya untukku. Dan dia mengirimkan surat untukku. Sayang, aku tidak bisa
membacanya saat ini. Seharusnya Gemilang yang membacakannya untukku. Tapi, dia
masih marah padaku. Entahlah.
* *
Operasi
selesai dilakukan sekitar empat jam yang lalu. Entah berapa lama para dokter
itu melakukan operasi itu. Satu jam lebih barangkali. Duniaku kini kembali
bercahaya, Lingga. Aku bahagia sekarang meski awalnya aku sungguh takut
kalau-kalau operasi ini tidak berhasil.
Tapi, dimana Gemilang?
Seharusnya dia menemaniku menjalani operasi tadi, meskipun hanya berada di luar
ruang operasi. Dan juga, seharusnya dia ada di sampingku tadi, seharusnya dia
orang yang pertama aku lihat saat mataku bisa kembali melihat. Tapi, dimana
dia? Apa kau tahu, Lingga?
Oh iya, aku teringat akan
pendonor itu. Aku ingat surat yang dia berikan untukku.
Lalu, kuambil sepucuk surat
berwarna kuning yang tergeletak di atas lemari di samping tempat tidurku.
Kubuka perlahan. Kubaca dengan seksama.
Jingga yang kucintai,
Saat kau membaca surat ini, aku pasti
sudah tak di sampingmu lagi. Maaf, aku pergi tanpa pamit. Maaf pula, bila tak
ada yang memberitahumu akan kepergianku. Bukan, bukan maksudku meninggalkanmu.
Tapi, ini kulakukan sebagai penebus rasa bersalahku yang mungkin tak akan
pernah bisa tertebus walau hanya sedikit.
Aku sangat mencintaimu, Jingga. Sangat.
Melebihi apapun di dunia ini. Melebihi diriku sendiri. Dan aku mencintaimu
seperti seorang pria mencintai seorang wanita. Bukan sebagai sahabat ataupun
adik. Kau tak pernah tahu itu bukan?
Karena cinta itu pula aku melakukan
segalanya Ngga. Melakukan sesuatu yang menurut orang lain tidaklah normal.
Tapi, itu semua kulakukan karena aku menginginkan kebersamaan kita yang kekal.
Kau ingat? Orangtuamu selalu melarang
kita berhubungan terlalu dekat saat usiamu menginjak 17 tahun. Tak pantas
katanya. Karena itu, kusingkirkan mereka karena telah berusaha menjauhkanmu
dariku. Agar kau bisa tinggal di rumahku bersama dengan ibuku yang kesepian.
Bukan, bukan hujan yang membiarkan mereka meninggalkanmu, tapi aku.
Lalu, kau tahu kenapa sejak dulu
teman-temanmu tidak mau bersahabat
denganmu? Itu karena aku yang melarang mereka dan mengancam agar mereka
tak mendekatimu. Aku hanya ingin akulah satu-satunya tempat berlindungmu yang
paling nyaman. Itu saja.
Dan terakhir, aku marah sekali, amat
sangat marah, ketika kau mulai dekat dengan Lingga. Aku geram. Tapi, aku belum
bisa melakukan apa-apa selama satu tahun kau berhubungan dengannya. Hingga tiba
akhirnya aku kembali menjauhkanmu dari orang yang kau sayang. Kebakaran di
rumah Lingga pada malam itu, akulah penyebabnya. Aku yang menaruh bensin di
rumah Lingga. Aku pula yang menyalakan api di sana saat ia terlelap. Tapi, aku
sungguh tak tahu kalau kau akan datang ke sana. Sekali lagi, kau mungkin
menyalahkan hujan saat itu. Tapi, itu salah Ngga. Akulah yang melakukannya. Aku yang menyebabkan api menyulut sedemikian
besarnya.
Aku sangat sedih saat tahu kau mencoba
menyelamatkan Lingga. Aku ingin memarahimu. Tapi tak bisa. Aku semakin sedih
saat senyummu hilang setelah hari itu. Saat kau tak lagi mau berbagi denganku.
Saat matamu tak bisa melihat. Saat kehilanganmu akan Lingga begitu demikian
besarnya. Aku sungguh sakit.
Karena itu, kuputuskan untuk
mendonorkan retinaku untuk kedua mata indahmu itu. Aku benci melihat semua kesedihanmu
itu. Tapi, aku tak bisa memusnahkan kau. Lebih baik, kubunuh diriku sendiri
agar terbebas dari semua perasaan itu. Aku akan menyusul semua orang yang telah
kukorbankan demi tetap bersamamu.
Aku tak memintamu untuk memaafkanku.
Tapi, aku mohon tinggallah bersama ibuku dan jadilah anaknya. Aku mohon. Satu
hal yang perlu kau tahu, hujan bukanlah penyebab kepergian semua orang yang kau
sayang. Tak perlu lagi kau membenci hujan.
Maafkan aku Jingga.
Gemilang
Pandanganku sudah kabur karena
air mata yang mengalir semakin deras. Sedih, kecewa dan marah berkecamuk jadi
satu. Aku tak tahu kalau Gemilang itu sakit, Lingga. Aku tak tahu kenapa dia
tega melakukan semua itu. Aku ingin menjerit. Kepalaku sakit membayangkan semua
yang telah terjadi itu, membayangkan hari-hari yang akan kulalui di kemudian
hari. Bagaimana ini semua terjadi kepadaku?? Kepalaku semakin sakit. Dan gelap.
* * * *
Di sana, di tepi pantai itu, aku melihatmu
Lingga. Kau nampak tampan sekali dengan pakaian putihmu. Kau tersenyum kepadaku,
sungguh manis. Lalu, ayah, ibu dan adikku menghampirimu dengan wajah berseri.
Menyusul kemudian Gemilang, lelaki jahat itu berdiri membalikkan badan, tampak
sedih. Kenapa kalian bersama dia? Kalian tak marah pada Gemilang? Bukankah dia
telah membunuh kalian?
Ibuku mendekat dan membisikkan
sesuatu seraya mengelus-elus kepalaku, “Pada hakikatnya, kita mati karena
kehendak Alloh sayang. Adapun Gemilang hanya sebagai penyebab perantara
kematian kami yang mengenaskan itu. Dia telah dan akan mendapatkan balasan yang
setimpal untuk yang dia lakukan itu. Tak usah lagi kau marah atau menaruh
kebencian padanya. Itu hanya akan menghambat kehidupanmu. Berjalanlah terus
nak, jadilah yang lebih baik lagi. Alloh
tak suka jika kau tak menjadikan ini semua sebagai pembelajaran. Tinggalah
bersama ibu Gemilang. Jadilah anak yang baik untuknya. Itu akan membahagiakan
kami di sini. Dan, jangan pernah lagi kau membenci hujan. Hujan itu indah
sayang, nikmatilah setiap tetesannya. Dan kau akan bahagia.”
Aku terbangun. Pipiku basah. Mimpi itu, serasa
benar-benar nyata. Pertanda apakah itu semua? Apa aku harus merelakan semua
yang terjadi itu? Apa aku harus berubah menjadi seseorang yang lebih baik lagi?
Apa aku harus memaafkan Gemilang dan memenuhi permohonan terakhirnya? Apa aku
tak boleh lagi membenci hujan? Apa lagi? Entahlah, aku bingung. Yang kuinginkan
saat ini adalah menenangkan diri. Sungguh, aku takut. Aku takut gila memikirkan
semua itu.
Lalu,
kulihat dari balik jendela tetesan-tetesan air jatuh ke bumi, membasahi
seantero kota. Semakin lama, tetesan air itu semakin deras. Mereka seakan
memanggil-manggil namaku. Dan tanpa disadari, aku sudah berada di luar, di
tengah guyuran air yang begitu deras. Entah kenapa, tak ada rasa takut ataupun
benci padanya. Seluruh tubuhku serasa tersengat listrik saat tetesan demi
tetesan membasahi tiap jengkal tubuhku, merasuk ke pori-pori, bersatu dengan
aliran darah dan denyut jantungku.
Ada perasaan aneh yang
kurasakan saat ini. Ringan. Sungguh ringan. Semua perasaan yang tadi
meluluhlantakkan hatiku seperti terbang dan hilang seketika. Tak ada lagi
kesedihan, kemarahan dan kekecewaan. Yang ada hanya kedamaian. Sungguh sulit
untuk kulukiskan.
Inikah
awal dari hidupku yang baru dimana aku harus melerakan setiap putaran kehidupan
yang telah kulalui? Sama seperti mereka, tetesan-tetesan air yang merelakan
dirinya jatuh ke bumi demi untuk memenuhi titah-Nya. Mereka yang dinamakan
hujan.
Ya, aku
tahu sekarang. Hujan turun atas titah-Nya, tak hanya datang dan pergi tanpa ada
guna. Tapi, ia memberi berkah untuk semua makhluk. Begitupun hidupku, tak hanya
tentang suka dan tak suka, sayang dan benci. Tapi lebih dari itu, aku harus
berguna bagi orang lain.
Terima
kasih Ya Alloh, telah menciptakan hujan yang memberikan warna dalam hidupku,
tak hanya hitam dan putih. Dan hujan akan slalu jadi inspirasiku untuk
memberikan warna pada dunia, lewat tulisan-tulisanku. Kini, aku akan memulai
semuanya dari awal. Menjadi Jingga yang lebih baik, menjadi anak dari seorang
ibu yang putranya akan slalu jadi bagian hidupku. Dia yang memberikan kegelapan
di masa laluku dan memberikan terang di masa depanku.
Dan kau
Lingga, tenanglah di sana bersama ayah, ibu dan adikku. Aku akan bahagia di
sini.
Komentar
Posting Komentar