Jika
Jam
tiga sore tepat, aku menginjakkan kaki kembali di tanah Padjadjaran ini, kota
kelahiranku. Sudah satu tahun aku meninggalkan kota Bandung dan menetap di
Jakarta, merantau disana, mencari sesuatu.
“Tan,
berapa lama kau disini? Apa kau akan kembali lagi ke Jakarta Tan?” kak Tendra
tiba-tiba mengagetkan aku dengan pertanyaannya itu. Dia adalah kakakku
satu-satunya. Juga satu-satunya keluarga yang aku miliki di Bandung ini. Kedua
orangtuaku tinggal di Batam, mengelola bisnisnya disana.
“Mungkin
tiga hari Kak. Hari senin juga pulang. Aku izin satu hari dari kerjaan.”
Jawabku santai.
“Sebenarnya,
kau ini mencari apa di Jakarta? Sekolah enggak, malah kerja disana. Mendingan
kamu disini aja sama kakak, lanjutin kuliah disini. Sebentar lagi kan ajaran
baru, biar kakak daftarin kamu, yah?” Kak Tendra membujuk dengan nada halus.
Aku tahu maksudnya kak Tendra bicara begitu. Tapi aku merasa tidak bisa
bertahan lama disini.
Aku
merengut, menghela nafas. Ucapan kak Tendra membuat aku harus berpikir. Memang
benar yang dikatakannya, di Jakarta apa yang aku cari. Aku ini anak orang kaya,
sekolah disini tanpa kerja sambilan juga bisa. Tapi, aku tetap tidak mau. Aku
ini memang keras kepala.
Selama
setahun di Jakarta, aku lebih memilih bekerja dari tempat satu ke tempat yang
lain. Mulai dari jadi kasir swalayan, waitress di restoran, resepsionis hotel
dan sekarang aku bekerja di agen travel. Begitulah kehidupanku di Jakarta.
Sebenarnya,
ada satu hal yang aku sembunyikan dari keluargaku. Hal itu yang menjadi alasan
aku ingin meninggalkan Bandung satu tahun yang lalu. Satu tahun lalu, aku
sebenarnya mengalami patah hati. Konyol sekali kedengarannya. Cuma gara-gara
patah hati, aku jadi bersembunyi di Jakarta.
Saat
SMA dulu, ada seorang laki-laki bernama Reno yang cinta mati sama aku. Dia
lelaki yang pintar, lumayan tampan, tapi penampilannya sangat standar karena
dia lelaki sederhana yang selalu memakai sepedanya ke manapun dia pergi. Saat
itu aku seorang gadis jutek, angkuh dan juga tinggi hati. Aku tak pernah
menghiraukan cintanya Reno. Berpuluh kali dia menyatakan cintanya, dan berpuluh
kali juga aku menolaknya mentah-mentah. Tapi yang aku salut adalah dia tidak
pernah menyerah untuk mendapatkan hatiku. Sampai suatu saat dia benar-benar telah
membuat aku luluh. Namun sayang, keangkuhanku telah membuat Reno pergi menjauh
dari kehidupanku. Itu karena aku yang memintanya seperti itu. Tak disangka,
saat itu aku benar-benar merasa kehilangan Reno.
Pertama
kalinya aku merasakan jatuh cinta seperti itu. Aku berniat menyatakan
perasaanku pada Reno dan meminta maaf padanya. Saat itu aku yakin kalau Reno
akan menerima uluran tanganku. Tapi, ternyata keyakinan tidak selalu membuahkan
sesuatu yang manis. Saat itu, aku dengar dari teman-teman Reno sudah punya
pacar. Dan dia sering jalan bareng dengan seorang wanita. Hatiku sakit sekali
mendengarnya, lebih-lebih ketika aku melihat Reno sedang membonceng wanita itu
dengan sepedanya.
Itulah
kali pertama juga aku merasakan patah hati. Sakit sekali. Karena itu, setelah
lulus, aku langsung pergi ke Jakarta. Lari dari rasa sakit hatiku.
Dan ternyata, hidup sendiri di
Jakarta, membuat aku jadi berubah menjadi gadis yang lebih baik. Itu yang aku
rasakan saat ini.
“Tan, kamu kenapa malah
bengong?” seru kak Tendra menyadarkan aku dari lamunan itu.
“enggak Kak, ga apa-apa kok!
Tanti minta, kakak jangan bahas lagi soal itu yah?”
Kak Tendra tersenyum, dia lalu
mengusap rambutku penuh kasih sayang.
* * *
Hari
sudah tak nampak terang lagi. Langit Bandung kini telah dipenuhi bintang. Aku
lalu pamit minta izin pada kakak. Aku ingin keluar, jalan-jalan, sekedar melepas
kerinduanku menikmati suasana kota ini di malam hari.
Baru
saja aku menapakkan kakikku di tepi jalan, sayup terdengar suara kayuhan sepeda
dari arah kiriku. Aku menoleh. Rupanya, sesosok wajah yang telah meniggalkan
kenagan dalam hatiku. Aku tersenyum, dan dia pun membalas senyuman pertamaku
untuknya, Reno.
Tanpa bicara sepatah katapun,
dia lalu menarik tanganku, mengajakku naik ke sepedanya. Dan kali ini aku tidak
menolak. Pertama kalinya aku naik sepedanya ini.
“Bagaimana
kabarmu Ren?” aku mencoba mengawali pembicaraan.
“Kau
sendiri bagaimana? Aku dengar kau kerja di Jakarta. Kenapa ga kuliah disana?”
dia bertanya balik. Dia mengayuh sepedanya dengan penuh semangat.
“Begitulah
Ren. Aku senang seperti itu. Mungkin, tahun ini aku kuliah disana, mungkin.
Terus kamu gimana Ren?”
“Aku
juga beginilah. Aku kuliah di ITB. Aku dapat beasiswa disana.”
“Sudah
kuduga. Kau memang lelaki pintar. Aku yakin kau akan sukses.”
Tak
lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah kecil.
“Ini rumah kamu Ren?” Reno
hanya mengangguk. Dia lalu mengajakku masuk ke rumah itu. Rumah kecil yang baru
pertama kali aku masuk ke dalamnya, tapi sungguh terasa hangat.
Di dalam rupanya ada ibunya
sedang duduk sendirian sambil mempayeti baju. Kami lalu menghampirinya. Reno
mengenalkan aku kepada ibunya, dan mengenalkan ibunya kepadaku.
“Bu, ini Tanti. Tanti, ini
ibuku.” Ibunya lalu tersenyum ramah. Aku menyalami dan mencium tangannya.
“oh, ini Tanti teman SMAmu itu
yah Ren? Rupanya dia memang cantik sekali.”
Aku hanya tersenyum mendengar
perkataan ibunya Reno itu. Lalu kami duduk di kursi berwarna biru yang sudah
sobek-sebek kainnya. Belum sempat kami ngobrol, tiba-tiba diluar terdengar
suara wanita mengucapkan salam. Dia lalu masuk ke dalam rumah. Aku kaget sekali
saat melihat wanita itu. Dialah wanita yang dulu aku lihat bersama Reno dengan
sepedanya. Pacar Reno. Rupanya mereka masih pacaran sampai sekarang. Luka
hatiku yang sudah sedikit kering itu, kini kembali basah.
“Maya!” sahut Reno. Rupanya
nama wanita itu adalah Maya. “Tanti, ini Maya. Maya, ini Tanti.” Reno
memperkenalkan kami berdua. Wanita itu tersenyum padaku. Dia gadis yang manis
dan ramah sepertinya. Aku ingin sekali beranjak dari tempat ini, tapi aku
mencoba bersabar sedikit.
Kami lalu mengobrol. Tapi, aku
semakin tak tahan melihat keakraban Maya dengan ibunya Reno, dan Maya dengan
Reno, mereka terlihat dekat. Aku seperti orang tolol yang sedang menyaksikan
kehangatan mereka. Aku tak tahan lagi. Aku lalu pamit pulang pada ibunya Reno.
Sampai di luar rumahnya, Reno mencoba menahanku.
“Tan, tunggu! Kamu mau
pulang?” tanya Reno sambil menarik tanganku. Aku sontak mengibasnya.
“Iya, aku mau pulang.” Nada
bicaraku jadi berubah.
“Ya sudah, biar aku antar
yah?”
“Ga usah, aku bisa pulang
sendiri.” Aku semakin tak tahan.
“Kamu kenapa sih Tan?”
“Aku ga apa-apa. Aku tanya
sama kamu Ren, sebenernya maksud kamu mengajak aku ke rumahmu itu apa Ren?”
“Aku cuma ingin mengenalkanmu
pada ibuku.”
“Hah.. lucu sekali! Aku ini
bukan siapa-siapamu Ren. Kamu ingin meledekku, begitu? Ingin pamer pada ibumu,
kalau aku ini adalah gadis yang dulu kau suka. Gadis angkuh yang telah menolak
cintamu berpuluh kali. Iya?!” aku tidak bisa menahan emosiku lagi.
Reno hanya terdiam mendengar
aku berkata seperti itu. Dia tidak menjawab apa-apa. Aku lalu pergi
meninggalkannya dengan penuh rasa marah. Marah karena merasa dipermainkan.
“jika saja tadi aku menolak
ajakan Reno, aku tentu tak akan mengingat kembali sakit hatiku. Dan aku tidak
akan mengatakan seperti itu padanya. Itu terdengar konyol.” Aku menggerutu
dalam hati, sambil meneteskan air mata.
* * *
Hari sudah berganti lagi. Tapi
hari ini aku merasa tak nyaman sama sekali. Aku masih memikirkan kejadian
semalam. Aku merasa bersalah pada Reno. Aku sudah membentak-bentaknya. Aku
harus menemuinya sekarang untuk minata maaf.
Aku menyusuri jalan yang tadi
malam kulewati. Belum sampai aku di rumahnya, Reno sudah ada di hadapanku.
“Mau kemana Tan?” tanya Reno
sambil mengerutkan dahinya.
“Aku mau ke rumahmu.”
“Ke rumahku? Untuk apa?”
“Aku ingin minta maaf padamu soal semalam. Aku sudah marah-marah ga
jelas sama kamu.”
“Oh itu. Ga apa-apa kok.
Dengan kamu bersikap seperti semalam, aku jadi tahu satu hal tentangmu.”
Jawabnya dengan senyuman menggoda.
“Tahu apa?” aku penasaran. Aku
takut kalau dia tahu perasaanku.
“Aku jadi tahu, kalau kamu...
masih nona Tanti yang dulu.” Dia tertawa. Aku lega. Aku ikut tertawa. “Kamu
tertawa? Baru pertama kalinya kamu tertawa seperti itu di depanku. Kamu tidak
membenciku lagi seperti dulu?” Reno melanjutkan perkataannya.
“Aku tidak membencimu.
Sekarang, aku ini temanmu. Kita teman.” Jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Kamu yakin kita bisa
berteman?” Aku mengangguk. “Kalau begitu, aku akan ajak kau jalan-jalan.”
Ujarnya sambil menarik tanganku.
Dia lalu mengajakku naik
sepedanya lagi. Kali ini tidak ke rumahnya, tapi jalan-jalan. Awalnya dia
mengajakku ke mall, tapi aku tidak mau. Aku lebih memilih diajaknya ke taman
hiburan. Lebih menyenangkan sepertinya.
Dan memang, ternyata
menyenangkan bermain di taman hiburan. Kami naik semua permainan di taman
hiburan. Berkeliling menikmati makanan, pokoknya bersenang-senang. Aku serasa seperti
anak-anak lagi. Dan Reno membuat aku merasa senang hari ini. Ini terasa seperti
angin Februari yang semilirnya menyejukkan hati.
Usai menikmati berbagai
permainan di taman hiburan, kami lalu pulang. Tapi di jalan, aku melihat sebuah
toko asesoris dan perhiasan. Aku mengajak Reno masuk kesana. Di toko asesoris
ini, aku melihat-lihat arloji.
“Ini bagus juga. Ini yang
kucari.” Seruku pada diriku sendiri. Aku menemukan sebuah arloji yang bagus
sekali.
“Untuk apa itu Tanti?” tanya
Reno sambil mendekat.
“Aku ingin membelinya. Kalau
sempat, arloji ini akan kuberikan untuk lelaki yang paling aku cintai. Tapi
kalau tidak sempat, aku akan menyimpannya.” Jawabku santai.
Aku lihat Reno terdiam. “Kau juga
mau membelikan sesuatu untuk gadis yang paling kau cintai?” tanyaku. Maksudku
gadis itu Maya. Aku tak bisa menyebut nama itu.
Reno hanya tersenyum. Aku lalu
memilihkan liontin yang bagus untuknya. Aku tanya Reno dan dia setuju dengan
pilihanku. Saat aku hendak membayar arloji dan liontin, dia juga ingin
membayarnya. Kami berebut untuk saling membayarnya. Dan dengan kesepakatan,
akhirnya aku membayarkan liontinnya, dan dia membayarkan arlojiku.
“Kau sudah berubah Tanti.”
Tiba-tiba saja Reno bicara seperti itu.
“Beginilah hidup mengajarkan
aku.” Aku hanya bisa menjawab seperti itu.
* * *
Hari
ini hari minggu. Seharusnya aku ke Jakarta besok, tapi aku mengundurnya jadi
hari ini. Aku harus segera kembali. Aku sudah pamit pada kak Tendra dan aku
tidak membolehkan dia mengantarku ke Jakarta. Lalu, sebelum ke terminal aku ke
rumah Reno, pamit padanya dan ibunya.
Tapi,
setibanya di rumah Reno, rupanya dia sedang ke rumah Maya. Aku sudah
menduganya. Aku hanya pamit pada ibunya. Dan menitipkan salam untuk Reno dan
Maya. Aku lalu pergi ke terminal.
Bis berangkat jam sepuluh. Berarti sepuluh
menit lagi. Aku masih duduk di kursi tempat para penumpang menunggu bis di
terminal. Suasananya benar-benar panas dan kering. Tapi, terminal tidak terlalu
ramai kelihatannya. Aku duduk sambil menggenggam arloji yang kemarin aku beli.
Sebenarnya, aku ingin memberikannya untuk Reno. Tapi tidak sempat.
Aku
tiba-tiba berpikir. “Jika saja aku dulu tidak angkuh dan tinggi hati, aku tentu
akan memiliki cintanya Reno. Jika saja aku tidak jatuh cinta padanya, tentu aku
tidak akan ke Jakarta. Toh aku lebih mencintai kota Bandung daripada Jakarta.
Jika kemarin aku tidak bertemu Reno, aku tidak akan patah hati lagi karena
melihat kedekatannya dengan Maya.”
Aku
lalu beranjak, hendak naik ke bis yang akan aku tumpangi. Tiba-tiba, aku dengar
suara lelaki memanggilku. Aku menoleh. Reno! Dengan nafas terengah-engah, dia
lalu menghampiriku.
“Nona
Tanti, aku mohon jangan pergi.” ujarnya lembut.
“Katakan
satu alasan, kenapa aku tidak boleh pergi?”
“Katakan
satu alasan juga kenapa kamu marah saat melihat keakraban aku dan ibu dengan
Maya?”
Kami
terdiam beberapa saat.
Sontak
kami berdua mengulurkan tangan kami. Aku mengulurkan arloji dari tanganku dan
hendak menyerahkannya pada Reno. Reno pun sama, dia mengulurkan liontinnya dan
hendak menyerahkannya padaku. Kami tersenyum.
“Lalu
Maya?” tanyaku.
“Maya?
Dia sahabatku sejak kecil, nona...”
Kami
lalu berpelukan. Erat sekali. Ternyata selama ini aku salah duga.
“Jika
saja dulu aku tahu kalau Maya itu sahabatmu, aku tak akan pergi ke Jakarta.” Kataku
sambil meneteskan air mata.
“Jika
saja kau tahu itu dan kau tidak pergi ke Jakarta, maka semua tidak akan seperti
ini nona.” Ujarnya sambil menghapus air mataku.
Kami
tersenyum. Lalu serentak berkata, “Kata jika adalah satu kata yang tidak perlu
diucapkan jika semuanya sudah
terjadi.”
Kali
ini aku tidak pergi lagi, aku tak mau ada kata jika lagi untuk kami.
Komentar
Posting Komentar