Lumpur Similiar

        Dalam masa-masa penantianku menyusun skripsi, waktuku lebih banyak kuhabiskan di rumah. Alhasil, aku lebih banyak menghabiskan waktuku buat baca-baca novel, nulis-nulis gak jelas dan nonton film-film kesukaan.
        Oiya, kemarin lalu aku membaca novel yang berjudul LUMPUR SIMILIAR: Misteri Perangkap Cinta karangan Alfian Malik. Awalnya aku tak begitu antusias, karena aku rasa awalnya kurang greget ni novel. Tapi, setelah baca halaman per halaman, seru juga. Isinya aneh. Baru kali ini aku baca cerita seperti itu. Hmm ceritanya tentang ilmu hitam dan ilmu putih gitu. Tapi, overall novelnya bagus. Ceritanya mengalir seperti dongeng terkini.
        Eits.. Tapi, saat ini aku gak bakalan ceritain isi tuh novel atau nulis resensinya,  aku cuma tertarik untuk menuliskan salah satu percakapan tokoh utama, Tegar Patih dengan seorang kakek yang menolongnya sewaktu ia mengalami kecelakaan ringan yang diakibatkan oleh ulah "orang jahil". Kakek itu ia beri gelar PhD karena ia pikir kakek itu seorang pakar dalam keilmuan "batin". Percakapan di halaman 52-54 ini berisi banget kalau aku bilang. Mau tau? Lets cekidot.. ^^

   "Pernahkah Bapak gagal dalam kehidupan ini?", kataku memulai dialog kami.
   "Tentu saja, tetapi aku tidak menyebutnya kegagalan, karena ternyata kegagalan itu memang tidak pernah ada di dunia ini. Yang ada hanyalah keserakahan. Apabila kita menginginkan sepuluh buah kelapa, dan Tuhan tahu, bahwa dengan dua saja kebutuhan kita sudah terpenuhi, lalu kita akan diberi dua. Oleh orang yang tidak mengerti, ini dianggap kegagalan. Tetapi oleh orang yang mengerti, ternyata ini merupakan keadilan yang luar biasa, karena sisanya dapat dinikmati oleh orang lain."
   "Aku pernah gagal dalam suatu lomba balapan, aku telah mempersiapkannya dengan begitu sempurna, ternyata aku kalah", kataku memberi contoh.
   "Mestinya kamu tidak akan kalah, kalau balapan itu diikuti oleh kamu sendiri, tetapi begitu banyak orang menginginkan kemenangan. Apabila kemenangan itu selalu berada di pihakmu, berarti kegagalan ada di pihak lain. Sehingga dapatkah kamu bayangkan berapa banyak kegagalan di muka bumi ini. Tetapi itulah keserakahan. Kamu tahu bahwa hanya ada satu juara, dapatkah itu dikatakan kegagalan? Kalau itu yang kamu maksud dengan kegagalan itu, berarti itupulalah yang saya maksud dengan keserakahan itu."
   "Pernahkah Bapak mendapatkan pendidikan yang modern?", aku bertanya enteng.
   "Nanti dulu, apakah pengertianmu tentang modern?"
   "Unggul, profesional dan terbaik dari yang pernah ada", kataku meyakinkannya.
   "Bisakah diberi contoh dengan yang lebih jelas?"
   "Mencangkul...membajak, diganti dengan mesin-mesin pertanian."
   "Lalu setelah mesin apalagi nantinya?"
   "Pasti ada, tetapi aku tidak tahu persisnya, saatnya nanti pasti akan datang."
   "Kalau begitu modern itu tidak ada. Yang ada hanyalah batas kemampuan manusia. Yang tidak punya batas adalah Tuhan. Karena itu, modern itu hanya boleh milik Tuhan."
   "Tetapi justru orang-orang tidak mengerti dan ingkar dengan kata-kata Tuhan, ternyata melangkah jauh lebih maju", aku mencoba mendesaknya.
   "Itu karena kita melihat sesuatu dari arah yang berbeda... lihatlah gelas itu, apa yang dapat kamu katakan tentang isinya?" kala ini sorot matanya sungguh tajam.
   "Gelas itu tidak kosong", jawabku tegas.
   "Aku bilang gelas itu tidak penuh", tangkasnya.
   "Aku kira, keduanya mengandung makna yang sama. Hanya kita melihat dari arah berbeda."
   "Justru itulah perbedaannya, nak. Anda melihat gelas itu tidak kosong, karena anda melihat ada batas yang berisi. Dengan kata lain, anda selalu terpaku kepada batas yang ada sekarang. Batas itulah yang mungkin anda maksud modern. Buktinya, kalau gelas itu saya isi, anda tetap akan mengatakan bahwa gelas itu tidak kosong, padahal batas tidak kosong itu telah berubah. Nah, sedangkan saya selalu melihat ke bibir atas gelas itu. Artinya, apa yang ada sekarang ini hampir tidak berarti. Bukankah saya jauh lebih maju dibanding anda? Saya sudah berada di puncak gelas itu, sementara anda berangsur naik. Setiap kali anda mencoba menambah isi gelas itu, saya tidak akan goyah. Saya akan tetap pada posisi saya, dan akan mengatakan bahwa gelas itu tidak penuh."
   "Sekarang gelas itu aku isi sampai penuh, lalu aku katakan bahwa gelas itu tidak kosong. Apa yang akan Bapak katakan?"
   "Saya katakan gelas itu penuh. Sekarang batas milikmu sudah berimpit dengan batas milikku. Hanya bedanya, aku lebih dahulu berada di batas itu. Itu artinya, aku sudah berbuat, sebelum kamu memikirkannya."
   "Tetapi menurutku, tidak kosong tidak sama dengan penuh. Tidak kosong belum tentu penuh, tetapi kalau penuh sudah pasti tidak kosong."
   "Justru itulah kamu selalu terlambat dari saya. Kalau sudah penuh, itu berarti manusia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita sudah sampai kepada batas di mana manusia tidak boleh memikirkannya lagi. Saat mana semuanya sudah menjadi urusan Tuhan."
   "Suatu saat...kita akan sama-sama mengatakan gelas itu penuh", kataku kemudian.
   "Nah, saat itulah ilmu sekolahan yang anda miliki akan menyatu dengan ilmu yang saya tekuni. Saat mana, dunia ini akan menjadi surga bagi seluruh manusia. Penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan sejahtera."


Nah, nah, nah.. gimana? You got it? ^^
Semoga bermanfaat :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Love Sparks in Korea Karya Asma Nadia

Kenapa (Saya) Tak Menulis?

Carilah Sahabat dan Berbuat Baiklah Padanya!