I Miss You, Friend....
Hari ini
reuni teman sekelasku di SMA dulu. Yah, bukan acara formal sih, cuma
kumpul-kumpul aja. Kami janjian berkumpul di rumah Mia sekitar jam tiga sore.
Aku semangat sekali untuk bertemu kembali dengan teman-teman lamaku setelah
satu tahun dari kelulusan SMA. “pasti banyak cerita dari mereka selama satu
tahun terakhir.” Pikirku.
Tapi, selain
tertarik untuk mendengar cerita mereka, aku juga sudah sangat merindukan
seseorang, my beloved friend, Amel. Hanya dengan dia, aku benar-benar belum
pernah bertemu selama setahun. Kalau dengan yang lainnya, aku pernah bertemu
walau hanya sekali.
Sudah hampir
jam tiga, aku berangkat ke rumah Mia yang lumayan agak jauh dari rumahku. Aku
diantar kakakku kesana. Kira-kira kurang dari sepuluh menit aku sudah sampai di
rumah Mia. Rupanya disana baru ada beberapa temanku saja.
Seperti orang
yang lama tidak jumpa, kami biasa berpelukan dan saling menanyakan kabar. “yang
lainnya belum datang Mi?” tanyaku pada Mia.
“lah biasa,
tau sendiri kan gimana mereka. Jam karet lah dipake!!hehe”
“masih ga
berubah aja mereka. Udah pada kuliah juga. Oh ya Mi, Amel dikasih tahu kan?”
“iya udah
sih, cuma waktu disms HPnya ga aktif. Tapi kata Zia sih udah dia confirm lewat
FBnya. Katanya sih mau dateng.”
“oh gitu, iya
kemarin waktu mau aku telpon juga nomornya ga aktif.”
Kami lalu
menyiapkan segala sesuatunya untuk acara makan-makan, sambil nunggu yang
lainnya datang.
Satu persatu
teman-teman berdatangan. Tapi Amel belum nongol juga. Makin sore aku makin
ngerasa deg-degan. Bukan karena mantanku juga ikut datang, tapi aku tidak sabar
bertemu Amel. Aku pun merasa heran kenapa aku merasa seperti ini. Mungkin,
karena aku akan bertemu dengan seseorang yang amat dekat denganku dulu.
Akhirnya,
karena waktu udah jam lima lebih dan Amel belum juga datang, aku dan Bagja
menjemput dia kerumahnya. Dan sesampainya aku di depan rumahnya, ada
tetangganya yang manggil aku.
“Neng, cari
neng Amel yah?”
“iya Bu,
kira-kira Amelnya ada ga Bu?”
“oh, tadi
neng Amel sama ibunya pergi ke mini market. Mungkin pulangnya Magrib neng.”
“oh gitu ya
Bu? Makasih deh Bu. Saya permisi dulu.”
“iya,
silahkan.”
Aku lesu.
“Kok Amel malah pergi ke mini market, katanya dia mau datang ke reunian.” Aku
dan Bagja balik lagi ke rumah Mia. Disana udah kumpul banyak orang. Ada wali
kelasku juga.
“mana
Amelnya, Nes?” tanya Mia heran melihat aku datang tidak dengan Amel.
“kata
tetangganya sih dia ke minimarket sama ibunya.” Jawabku agak kecewa.
“jadi dia ga
dateng?” Mia mendesak. Aku sekedar menggelengkan kepala.
“Eh, Nes, aku
dapet sms dari Amel, katanya dia telat datengnya. Paling abis Magriban
katanya.” Seru Zia sambil membuka isi pesan di handphonenya.
“oh gitu?”
nadaku datar. Aku sedikit kecewa, “kenapa Amel ga ngasih tau aku, malah dia sms
sama Zia.” Gumamku dalam hati. Padahal, aku kan masih sahabatnya. Dulu, kalau
ada apa-apa pasti dia ngasih tau aku duluan. Ah, entahlah..
Beberapa menit
kemudian terdengar adzan Magrib. Kami lalu shalat Magrib terlebih dulu.
Tak selang
beberapa lama setelah aku selesai shalat Magrib. Aku melihat sosok yang amat
aku kenal diluar. Wanita berperawakan tinggi itu sudah memberikan senyumnya
dari luar. Aku membalas senyumnya. Amel?? Ternyata dia benar datang. Aku merasa
senang melihat dia akhirnya datang. Dia lalu masuk ke rumah dan bersalaman
dengan semua teman. Dan saat kami hendak saling menyapa, entah kenapa aku
merasa sesuatu yang berbeda. Aku tidak bisa meluapkan semua rasa kangenku pada
sahabatku itu.
“Tian..?”
sapa Amel padaku. Dia masih menyapaku dengan sebutan Tian. Hanya dia yang
memanggilku dengan sebutan Tian.
“Eh Amel,
gimana kabarmu?” tanyaku sambil cipika-cipiki dengannya.
“alhamdulillah
baik.” Dia lalu cipika-cipiki dengan teman yang lainnya.
Hanya segitu.
Proses meet and greet kami hanya sebatas itu. Saling menyapa, menanyakan kabar
dan cipika-cipiki. Sama dengan yang lainnya. Jauh dengan yang aku bayangkan dan
memang biasa terjadi sebelumnya. Dulu, ketika masih sekolah, meskipun hanya
tidak bertemu satu minggu, kami pasti saling berpelukan, hangat sekali
suasananya. Berbeda dengan saat ini. Aku rasa hambar. “inikah yang memang
seharusnya terjadi?”
Tiba di acara
makan-makan. Amel duduk tepat di sampingku. Tidak banyak yang kami bicarakan.
Hanya sebatas percakapan biasa.
“darimana
aja? Tadi aku ke rumah kamu sama si Bagja. Mau jemput kamu, tapi kata
tetanggamu kamunya pergi.” Aku mencoba membuka pembicaraan. Entah kenapa, kaku
rasanya.
“oh gitu?
Iya, tadi nganter ibu dulu ke minimarket Yan. Kamu udah lama disini?”
“kirain ga
bakal dateng.. udah dari jam tiga aku mah.”
“iya,
sorry,sorry..hehe..”
Percakapan
kami hanya sebatas itu. Aku tidak berani menanyakan yang lainnya, dan begitupun
mungkin dengannya. Aku merasa, kenapa kami tidak bisa sebebas dulu.
Padahal,
selama setahun ini, kami jaraaang sekali kontek-kontekan. Memang pernah
beberapa kali kami smsan, tapi pasti smsan kami itu berakhir tanpa pamitan.
Selalu begitu. Sebelum aku ingin menanyakan banyak hal padanya, sebelum aku dan
dia saling bercerita, smsan kami berakhir. Entah itu karena nomornya yang tidak
aktif, atau dia yang sibuk. Terkadang aku berpikir, apa dia memang sengaja
menghindar?
Memang susah
sekali untuk menghubunginya. Mungkin bagi teman yang lain tidak. Yah karena
mereka biasa kontek-kontekan lewat FB. Sementara aku tidak begitu tertarik
dengan FB.
Saat makan,
dia memang duduk di sampingku, tapi aku merasa jauh dengannya. Apakah dia
merasakan perasaan yang sama denganku. Aku, Amel dan teman yang lainnya saling
bercanda, tapi entah kenapa terasa berbeda.
Beberapa
menit setelah makan, acara dilanjutkan pada sesi berbagi cerita... Teman-teman
yang melanjutkan sekolah ke luar kota satu persatu gantian cerita.
“ayo,
sekarang gilirannya Nestiani yang cerita.” Seru Bagja.
“ah, ga. Aku
kan udah tahun lalu.” Jawabku ogah.
“ya kan itu
tahun lalu. Sekarang kan kamu masuk kuliah, jadi pasti beda lagi dunk
ceritanya.” Bagja mendesakku.
“ga ada yang
spesial dari seorang Nestiani. Hidupku lancar dan baik-baik aja.” Aku makin
ogah.
Pak Hari,
wali kelasku nyengir di dekat pintu. Aku nyengir juga. Aku tidak berani
mendekat padanya. Dia pun pasti akan banyak menanyakan hal-hal seputar
kegiatanku satu tahun terakhir ini. Dan, entah kenapa aku merasa minder untuk
menceritakannya. Mungkin, karena teman-teman yang lain menceritakan soal
kuliah, nilai dan IPK mereka. Sementara aku, paling menceritakan tentang
kerjaanku selama di Cikarang. Walaupun, bagiku amat mengesankan, tapi bisa saja
tidak menarik bagi teman-teman yang lainnya.
Jika dalam
keadaan normal biasa, satu-satunya teman yang akan mengerti perasaanku walau
aku tak menceritakannya adalah Amel. Yah, kami memang sudah sehati. Tapi, kali
ini, apa dia mengetahui kalau aku merasa minder.
Kali ini, dia
duduk agak jauh dari tempatku. Aku melihatnya, tidak seperti melihat Amel yang
dulu ku kenal. Begitu ceria, pemberani dan cuek. Tapi, sekarang dia lebih
banyak diam. Sebenarnya aku ingin tahu banyak tentang dia selama satu tahun
terakhir ini. Aku lalu bergeser menghampiri Amel.
Teman-teman
sekelas lalu membicarakan acara berpetualang satu minggu lagi. Lantas, itu
menjadi jalanku untuk bisa ngobrol dengan Amel.
“kamu masih
lama kan di Tasik? Kapan balik ke Bandung? Ikutan berpetualang kan?” aku
mencoba bertanya padanya lagi. Yang aku tahu Amel sekarang bekerja di Bandung,
aku ingin tahu ceritanya.
“iya, aku nyantai
kok. Ga buru-buru ke Bandung lagi.” Jawab Amel pelan.
Aku yang
hendak bertanya lebih banyak lagi, tiba-tiba jadi kaku. Tak sanggup terus
melanjutkan bertanya. “ohh..” hanya itu jawabanku.
Kenapa
seperti ini. Aku ingin tahu banyak hal tentang dia, bagaimana kehidupannya,
kerjaannya, percintaannya. Sudah lama sekali kami tak saling bertukar cerita.
Kangeen sekali rasanya. Tapi, seperti ada jarak yang memisahkan kami.
Aku jadi
sedikit berpikir, apa dia juga merasa minder karena tidak bisa kuliah sama
dengan teman yang lain. Dan karena tahun ini aku kuliah, maka dia pun jadi
merasa minder padaku. Akupun merasa serba salah harus bersikap padanya.
Yang aku
tahu, dia tidak senang menceritakan hal-hal yang akan membuat orang lain iba
dan kasihan padanya. Itu hal yang paling dia benci. Makanya, aku tidak berani
untuk bertanya lebih banyak.
Entahlah, aku
berpikir kesana kemari. Tiba-tiba HPku bunyi. Suara sms. Aku buka.
“De, kakak jemput
sekarang! Siap-siap yah.” sms
dari kakakku.
“iya.”
Tak lama
kemudian, kakakku sudah ada di depan rumah Mia. Aku lantas pamitan pada semua
teman-temanku dan juga Pak Hari. Aku langsung menuju pintu. Ternyata di depan
pintu ada Amel sedang berdiri. Dia menepuk bahuku. “Wei.. mau kemana?” ujarnya.
“eh Mel, aku
pulang dulu yah. Ga usah pamitan lah, toh kita kan bakalan ketemu satu minggu
lagi.” Selorohku.
“iya deh,
ati-ati yah?!” jawabnya sambil melambaikan tangan. “daah?!!!”
Aku lantas
meninggalkan rumah Mia. Entah kenapa, aku merasa reunian kali ini tidak begitu
berkesan menyenangkan. Yang seharusnya terjadi pada dua orang sahabat yang
sudah setahun tidak bertemu bukanlah seperti itu. Itu terasa canggung sekali. Aku
masih sangat kangen pada Amel, sahabatku. Tapi, aku berpikir toh aku dan Amel
akan bertemu lagi minggu depan.
* * *
Hampir satu
minggu berjalan. Tapi, aku belum dapat juga kabar dari teman-teman tentang
kepastian acara berpetualang. Aku lalu sms Amel.
“Amel, gimana katanya,
acara berpetualangnya jadi ga?”
Tak lama
suara balasan.
“ga tahu Tian, aku juga
belum dapet info apa-apa.”
“oh gitu ya? Alamat ga
jadi nih!”
“iya kali. Ya udah yah,
bye Tian... : ) ”
Seperti
biasa, sms kami ditutup terlebih dahulu olehnya. Itu sedikit membuatku ga enak.
Tapi udahlah, aku tahu sifatnya. Dia ga senang basa-basi.
* * *
Hari ketujuh
setelah reunian. Tidak ada kabar apapun, dari siapapun soal acara berpetualang.
Aku sudah menanti-nanti acara itu. Karena aku pikir, kali ini aku akan dapat
kesempatan lebih banyak untuk bercerita banyak dengan Amel. Tapi, ternyata
acaranya ga jadi.
Aku merasa
kecewa. Aku juga menyesal kenapa waktu mau pulang dari reunian ga pamitan dulu
sama Amel. “Beginikah yang seharusnya terjadi?”
Hari ini, aku
kehilangan satu moment penting. Bukan karena aku tidak bisa mendapatkannya,
melainkan Allah tidak mengizinkannya.
Kelak, aku
tidak tahu kapan akan bisa bertemu lagi dengan Amel. Untuk saling bercerita,
berbagi suka duka, saling berkeluh kesah, merangkai mimpi dan tertawa bersama.
Aku merasa, aku telah kehilangan seorang sahabat, dan juga seorang Amel.
Dan akhirnya
aku tiba pada satu pemikiran, bahwa ini jalan yang terbaik. Allah belum
mengizinkan aku dekat lagi dengan Amel. Aku tidak akan mengusik kehidupan Amel
dulu sebelum dia yang mau mengajakku lagi masuk ke dalam hidupnya. Aku tahu,
dia tidak ingin membawaku ke dalam cerita-ceritanya, karena dia rasa itu memang
tak perlu. Dia memang orang yang lebih senang bungkam.
Akupun pernah
melakukan yang Amel lakukan saat ini. Mencoba sedikit lebih diam, menghindar
dan tidak banyak bicara agar teman-teman tidak terlalu banyak bertanya tentang
kehidupan yang aku tidak ingin menceritakannya pada orang lain. Mungkin itu
yang terjadi padanya saat ini.
Dan
aku yakin, saat ini dia juga sangat merindukan aku dan juga membutuhkan seorang
sahabat. Dan aku akan tetap menunggunya, sampai kapanpun, she is my beloved
friend. Always and forever. Saat ini, aku hanya ingin bilang padanya, I Mizz You, Friend... sambil memeluknya erat.
#written on November 2009, by Tiara Purnamasari
for you, my beloved friend, Zefa Amelia.. still remember?
for you, my beloved friend, Zefa Amelia.. still remember?
Komentar
Posting Komentar