Hanya Perlu Menyadari
Di
ruang tamu, aku duduk sendiri. Mondar-mandir ga jelas. Aku sedang memikirkan
sesuatu. “Apa yang harus aku lakukan. Aku harus segera mengambil tindakan
sebelum batas waktunya tiba.” Gumamku.
Aku lalu mengambil HP. Aku
ketik sms. “Re, besok sore kita
ketemu di taman yah?” sms itu
kukirim pada Rea.
Beberapa lama, ada balasan. “Ada apa Yo?”
“Ga, pokoknya besok kita ketemu yah?!”
“iya deh, aku pasti dateng.”
* * *
Hujan sangat deras hari ini,
padahal nanti sore aku ada janji untuk bertemu dengan Rea di taman. “Bagaimana
kalau sampai nanti sore hujan belum juga reda? Ahh, tapi biarlah! Meskipun hujan,
tapi aku tetap harus bertemu dengan Rea sore ini juga. Aku harus mengatakannya
hari ini juga.”
Rea
adalah pacarku, entah pacar yang keberapa. Yah, karena mungkin itu saking
seringnya aku bergonta-ganti pacar. Batas waktuku pacaran dengan satu wanita adalah
paling lama tiga bulan. Tapi, sampai saat ini aku belum pernah pacaran dengan
seorang wanita sampai selama itu. Belum juga satu bulan, sudah bubaran. Aku tak
pernah tahan berlama-lama pacaran dengan wanita-wanita itu. Mereka semua itu
hampir sama. Banyak maunya, minta antar jemput lah, nuntut ini itu lah, bikin
ribet. Meskipun aku selalu menghargai dan berbuat baik pada mereka, tapi tetap
saja aku tidak bisa kalau harus pacaran lama dengan wanita-wanita merepotkan
itu.
Aku
tidak pernah benar-benar mencintai mereka. Deklarasi cinta yang aku ucapkan
waktu nembak mereka, itu hanya berdasar atas rasa suka dan ketertarikan luar
diri mereka saja. Tak pernah lebih, karena tak pernah juga ada sesuatu dari
mereka yang membuat aku bisa bertahan di samping mereka. Aku lebih senang
bermain-main untuk itu. Cinta seperti itu hanya sebuah kebohongan. Sama halnya
dengan hubungan sesaatku dengan mereka, itu hanya sebagai pelepas rasa penatku
saja.
Sampai
hari ini, hampir tiga bulan aku pacaran dengan Rea, tepatnya satu minggu lagi
genap tiga bulan. “Bisa juga aku pacaran selama ini?!” pikirku dalam hati.
“woi,
ngelamun aja Yo? Kenapa lo?” tiba-tiba Tomi mengagetkan aku.
“elo
Tom. Ngagetin gue aja..!”
“abiz
elo ngelamun aja gue liatin. Emang ngelamunin apa sih? Si Rea yah?” Tomi
menyelidik.
“sotoy
lo..!”
“lah,
kalau bukan si Rea, lo ngelamunin apaan donk. Yah udah pasti mikirin dia
lah...” dia makin sok tau.
“lah,
terserah lo deh. Gue mau mandi dulu.” Ujarku sambil melemparkan bantal kursi ke
mukanya Tomi.
“jangan
terlalu keras sama hati lo Yo! Belajarlah menyadari sesuatu yang belum pernah
lo dapetin sebelumnya.” Tiba-tiba Tomi berceloteh. Aku hanya menoleh, lalu
berbalik kembali menuju kamar mandi.
“Apa
maksudnya si Tomi ngomong kayak gitu. Sok bijak?!” gumamku dalam hati.
Tapi,
aku jadi teringat kembali pada Rea. Aku suka sekali dengan sikapnya. Dia tegas,
sederhana, ramah, pengertian, dewasa dan kadang manja. Dia wanita yang berbeda
dengan pacar-pacarku yang sebelumnya. Bagiku, dia sama sekali tidak merepotkan.
Dia tak pernah membiarkan aku menunggu, tak pernah membiarkan aku merasa tidak
nyaman. Dia menjadi pacar yang baik untukku, padahal sebelumnya dia belum
pernah berpacaran. Aku ini pacar pertamanya. Dan tanpa disadari, akupun menjadi
pacar yang baik untuknya.
Tapi,
meskipun menyenangkan pacaran dengan Rea, aku tetap tak bisa melebihi batas
waktu pacaranku. Aku tidak bisa menjadikan dia sebagai pelepas penatku saja.
Aku harus menyudahi main-mainku dengannya hari ini. Aku tidak bisa kalau harus
menunggu satu minggu lagi. Hari ini, aku harus memutuskan dia. Aku harus segera
mengakhiri kebohonganku ini. Walaupun, sebenarnya aku tak yakin akan
mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari saat bersamanya.
* * *
Sudah
satu jam aku menunggunya di taman ini, hujan tak juga reda. Mungkin dia tak
akan datang. Tapi aku akan tetap menunggunya, aku harus segera bicara padanya.
“Rio..
kenapa kau nekat menungguku disini? Kenapa tidak kau batalkan saja janjimu itu.
Nanti juga kita bisa janjian lagi disini.” Aku dengar suara Rea memarahiku.
Ternyata memang dia sudah ada dibelakangku.
“Aku tidak bisa, aku harus
bertemu kau hari ini juga.” Jawabku sambil berdiri mendekatinya.
“Kau memang keras kepala.
Selalu bertindak semaumu.” Rea terlihat menggerutu.
“Re,
hari ini aku mau kita putus.” Seperti bom waktu yang ditunggu untuk meledak,
akhirnya kata-kata itu terucap juga dari bibirku. Meskipun aku harus
terbata-bata, karena sulit sekali rasanya kata-kata itu untuk aku keluarkan
dari bibirku, tertahan di tenggorokan, hingga terasa sesak di dadaku. Baru kali
ini aku merasakan sulitnya mengucapkan kata-kata putus pada seorang wanita.
“Aku sudah tahu pasti hal ini
akan terjadi juga padaku, tapi aku tidak menduga hari inilah waktunya kau
kembalikan lagi hatiku yang selama ini kau pinjam.” Aku tak kuasa melihat Rea
saat ini. Dia hanya berdiri lemah, suaranya agak parau. Meski hujan begitu
deras, tapi aku bisa melihat bahwa dia meneteskan air mata. Aku telah
menyakitinya. Selama ini, aku selalu menahan air matanya agar tidak menetes
saat ia sedang bersedih, tapi hari ini aku yang telah menjatuhkan air mata itu.
“Re, aku minta maaf. Aku tidak
ingin menyakitimu.” Tenangku padanya.
“Terlambat, aku sudah sakit.
Dan kau tak perlu minta maaf, karena kau tak bersalah.” Jawabnya tegas.
“Tapi sebelum kita pacaran kau
sudah tahu bagaimana aku kan?” tanyaku lemah.
“Justru itu, aku terlalu naif
dengan membiarkan kau berbuat kejam padaku. Kau tahu, hal paling kejam yang
dilakukan seseorang ialah membuat orang lain jatuh cinta sementara kau tak
berniat menerimanya langsung saat ia terjatuh. Dan itu yang kau lakukan
padaku.” Aku tidak mengerti yang ia katakan.
“Maksudmu?” tanyaku minta
penjelasan.
“Selama ini kau selalu membuat
aku merasa seperti sebuah bunga yang amat kau cintai, tapi kau hanya
menganggapku tak lebih dari sebuah boneka. Kau ulurkan tanganmua saat aku
terjatuh, tapi ternyata kau hanya berniat melukaiku. Kau berikan senyummu saat
aku bersedih, tapi itu hanya untuk membuatku lebih sakit. Kau selalu
menggenggam erat tanganku, tapi hari ini kau akan melepasnya lagi setelah aku
menggenggammu.” Aku hanya diam mendengar perkataannya itu. Memang benar yang
dia katakan itu, tapi aku sama sekali tak berniat menyakitinya. Saat di
dekatnya, itulah yang ingin aku lakukan padanya. Aku tidak tahu akan jadi
begini. Sebenarnya, ada apa denganku ini?
“Re,
aku tidak berniat seperti itu. Sungguh, aku tidak tahu kalau itu akan membuatmu
jatuh cinta padaku.” Jelasku padanya.
“Sudahlah, aku memang bodoh
membiarkan kau mengambil alih hatiku. Dan karena aku telah jatuh cinta padamu,
maka aku akan melepaskanmu saat ini juga. Aku harap kau tahu bahwa aku ingin
melihatmu bahagia.” Ucapnya dengan senyuman dan tangisan yang bersamaan.
* * *
Setelah
beberapa lama kami hanya berdiam diri di tengah derasnya hujan, akhirnya dia
berbalik dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari permainan cintaku. Tapi,
rasanya nuraniku tak bisa terima kalau dia akan pergi, hatiku sakit sekali jika
dia melangkahkan kakinya semakin jauh dariku. Aku benar-benar tak ingin dia
melepaskanku begitu saja. Aku sama sekali tak rela.
“Jika seseorang menyadari
sesuatu tapi terlambat bagaimana? Jika aku hanya bahagia saat bersamamu
bagaimana?” spontan aku mengucapkan kata-kata itu.
“Maksudmu?” tanyanya sambil
membalikan badan.
“Jika aku memintamu untuk
tetap disampingku bagaimana?” aku tidak bisa menahan perkataan itu keluar dari
bibirku.
Dia mendekat dan dengan
senyuman serta kata-kata yang tegas mengatakan, “Akan aku pikirkan.” Aku lalu
memeluknya dengan erat. Hampir saja aku akan kehilangan mentari pagiku ini.
“kau sudah jatuh cinta Rio...”
ujarnya lembut.
Aku tersenyum. Akhirnya, di
tengah hujan yang deras ini, aku menyadari satu hal, aku sama sekali tak bisa
untuk kehilangan Rea. Aku benar-benar tak rela lepas darinya. Dan aku menyadari,
bahwa tanpa disadari aku telah jatuh cinta padanya.
written on 8th April 2010
Komentar
Posting Komentar