Februari, Dia dan Surat Cinta Itu
Semilir angin di bulan
Februari memang terasa berbeda. Sejuknya membawa aroma tersendiri yang begitu
khas dengan kesan cinta. Mengapa? Tentu saja karena hari valentine. Walau aku
adalah salah satu orang yang cukup tak suka dengan hari itu, tapi tubuh, hati
dan pikiranku bisa merasakan dengan jelas semilir angin di musim cinta ini.
Februari memang indah. Menambahkan kesan romantis bagi mereka yang sedang
berkasih mesra, bagi mereka yang tengah kasmaran.
Namun bagiku, Februari
memiliki kesan tersendiri. Karena semilir angin di bulan Februari itu selalu
membuatku teringat pada kenangan cinta pertamaku di masa SMA dulu. Dalam
ritmenya yang mengalun indah, kenangan itu masih dapat dengan jelas kurasakan.
Hingga saat ini. Meski hampir tiga tahun masa SMAku telah berlalu.
Dan di bulan Februari kali
ini, aku masih teringatkan lagi padanya. Pada dia yang dulu membombardir hatiku
habis-habisan. Selalu begitu. Semilir angin kali ini pun membawa dia
menghampiriku lagi, meski raganya telah lama menghilang, dan belum pernah
kutemui lagi.
Hari ini, ketika hatiku telah
tak lagi beraga rasanya, aku merasakan dia kembali hadir dalam memoriku.
Memainkan rentetan video usang tentang sebuah rahasia di Februari itu. Rahasia,
karena hanya aku, sahabat dan cinta pertamakulah yang tahu. Dan Allah tentunya.
Sebuah rahasia tentang aku,
yang saat itu berusia tujuh belas tahun, memahami bagaimana cinta itu. Dan
Februari, akan selalu menyimpan rahasia itu. Rahasia yang amat aku banggakan.
Iya. Aku tak akan pernah tahu
apapun seandainya aku membiarkan diriku terus hidup dalam harapan kosong itu.
Aku pun tak akan pernah tahu tentang bagaimana cinta itu seandainya aku tidak
menjebloskan diriku dalam satu hal yang paling memalukan dalam hidupku. Satu
hal yang aku rasa telah membuat diriku terlihat amat menyedihkan. Dan satu hal
yang justru membuat aku bangga ketika aku tahu itu jauh lebih baik daripada aku
tak pernah melakukannya.
Masih jelas terlihat dalam
benakku ketika aku melakukan hal bodoh dan sekaligus hal paling berani bagiku.
Hal yang tak pernah aku bayangkan juga sebelumnya. Hal yang paling tidak ingin
aku lakukan sama sekali.
Hari itu, di awal bulan
Februari tiga tahun yang lalu, aku putuskan untuk menyatakan perasaanku pada
Aga, lelaki yang selalu terbayang dalam benakku saat itu. Namun, bukan
menyatakannya secara langsung, karena aku sama sekali tak kan bisa berdiri
tegak jika berada di hadapannya. Aku tak ingin dia melihat ekspresi anehku saat
aku mengungkapkan perasaanku. Bukan pula lewat sms atau telpon. Karena dengan
cara itu sama sekali tak romantis rasanya. Dan kuputuskan menyatakannya lewat
sepucuk surat cinta. Yah lewat surat cinta dengan tulisan tanganku sendiri.
Tapi sebelumnya, saat itu aku
merasa bahwa aku terlebih dahulu harus meminta pendapat sahabatku, Zefa. Yah
sahabat menempati peran yang penting dalam hidup kita bukan?
“Fa, aku mau ngirim surat buat
Aga.” Sekejap kata-kata itu terucap dari bibirku saat sedang bercengkrama
dengan Zefa.
“Maksudnya surat cinta, Iana?”
Zefa menatap mataku lekat-lekat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
aku katakan.
“iya.” Jawabku penuh
keyakinan.
“Bagus. Aku dukung kamu
sepenuhnya.” Dukungan jelas terdengar dari nada bicaranya. Zefa sangat
antusias. Aku tahu itu, aku bisa melihat dari raut mukanya. Matanya yang
berbinar seakan mengisyaratkan, “Aku telah lama menunggu ini teman. Cepat
lakukanlah.” Begitu mungkin.
“Tapi, kau harus janji. Hanya
kita yang tahu.” Pintaku padanya.
“Tenang. Hanya kita yang tahu.
Aku janji.” Jawabnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Itu kebiasaan kami
jika saling berjanji satu sama lain.
Aku merasa lega mendapat
respons seperti itu dari Zefa. Selama ini, memang hanya dia yang tahu
sebagaimananya perasaanku pada Aga. Hingga seringkali ia dibuatnya gemes oleh
tingkahku yang cemen jika berhadapan dengan Aga. Tak jarang juga ia membantuku
untuk mencari kesempatan agar bisa sedikit berkomunikasi dengan Aga. Zefa
memang sangat pengertian. Dia adalah sahabatku yang paling baik.
* * *
Malam
harinya, aku sama sekali masih bingung dengan apa yang akan aku tulis dalam
suratku untuk Aga. Jam delapan malam, aku masih merenung. Dan tiba-tiba, HPku
berbunyi. Suara sms. Dari Zefa.
“Semangat sahabatku. Aga sedang menantimu untuk surat
itu.”
Aku
lalu membalasnya.
“Thanks
a lot. Doakan aku yah!”
Tak lama bunyi balasan darinya.
“Pasti. Ciayo!!”
Aku sedikit mendapat semangat darinya. Beberapa
hari sebelum aku memutuskan untuk membuat surat cinta untuk Aga, aku memang
telah memikirkan beberapa hal yang ingin sekali aku sampaikan padanya. Tapi,
aku bingung harus memulai darimana. Akhirnya, setelah aku berpikir beberapa
lama, aku tahu harus memulainya darimana.
Aku
tulis surat cinta itu dengan penuh perasaan cinta. Sungguh, indah rasanya. Aku
memang merasa itu memalukan, tapi hatiku tak bisa memungkiri kalau aku
menikmatinya. Aku tulis kata per kata dengan penuh pengharapan. Aku merasakan
sedang berbicara dengan Aga saat itu. Menyenangkan rasanya. Kira-kira, seperti
inilah isi surat itu.
Untuk cinta pertamaku
Aga Permana Putera
Lelaki penabur
rindu di tengah hati yang tawar
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Salam
termanis di setiap kehidupan mengiring kedatangan suratku ini. Surat cinta
pertama yang pernah aku buat untuk seorang lelaki.
Maaf, jika
aku telah lancang dengan suratku ini. Aku tak pernah bermaksud ingin mengusik
hidupmu. Sebenarnya aku ingin diam dan menyimpan ini semua saja di hatiku.
Tapi, entah kenapa aku merasa harus melakukan ini. Walaupun tentunya ada harga
yang harus dibayar ketika aku memutuskan untuk melakukan ini. Aku harus rela
kehilangan harga diri yang selama ini aku angkat tinggi-tinggi diatas kepalaku
dengan mengirim surat ini padamu.
Aku tidak
peduli dengan apa yang saat ini kau pikirkan tentang aku. Aku hanya ingin
mengungkapkan apa yang ingin aku katakan padamu.
Dengarkan ini.
Cinta adalah caramu menatapku di waktu
itu.
Cinta adalah caramu tersenyum kepadaku
Cinta adalah sikapmu yang tak biasa
padaku
Cinta adalah isyaratmu yang tak dapat
ku artikan
Cinta adalah ketika kau
menyembunyikannya
Cinta adalah saat kau menyakitiku
berkali-kali
Cinta adalah caramu menyesali
kesalahanmu
Cinta adalah caramu mencintaiku
Cinta adalah kepastian yang tak pernah
kau ucapkan tapi selalu kau tunjukkan
Cinta adalah semilirnya angin saat kau
menghampiri
Cinta adalah satu kata yang membuat
kau berbeda
Cinta adalah kau
Bagiku, definisi cinta adalah kau,
pengeranku…
Darimu, aku tahu cinta itu. Begitulah
cinta yang aku tahu. Tapi maaf, jika aku salah mengartikan semua itu. Tapi,
jika memang kau telah mencoba menyentuh hatiku, maka itu telah sangat berhasil
kau lakukan. Bahkan bukan saja menyentuhnya, kau telah berhasil menjajah hatiku
sampai-sampai mengambil alihnya.
Sebenarnya,
dengan surat ini aku tidak bermaksud menyentuh hatimu atau bahkan berharap kau
mengulurkan tangan kepadaku. Tapi, rasanya aku tak sanggup lagi bila harus
terus menyembunyikannya.
Hampir dua
tahun yang lalu, aku pernah dekat denganmu, mungkin sebagai sahabat seperti
yang sering kau bilang. Dan aku pun menganggap kau seperti itu. Tapi, setelah kita tak lagi dekat, aku malah
tak bisa lagi menjadi sahabatmu yang setia dan slalu ada untukmu. Hatiku telah
berubah, karena aku rasa kau telah menyentuhnya perlahan...
Mungkin,
aku tak bisa lagi meneruskan suratku ini. Karena aku justru takut merusak
hatimu.. Aku hanya ingin katakan, bahwa selama dua tahun ini, kaulah yang
kucintai, kaulah yang selalu di hatiku.
Maafkan
kelancanganku ini. Semoga kau senantiasa bahagia bersama orang yang kau cintai.
Wassalam,
Dari aku
Iana Jauharah
Sampai
jam 12 malam, aku baru selesai menulis surat itu. Rupanya menulis surat cinta
bukanlah suatu hal yang mudah bagiku. Aku harus menghabiskan waktu beberapa jam
hanya untuk menulis sebuah surat cinta saja. Konyol sekali kedengarannya ya.
* * *
Hari
yang cerah seharusnya.
Pukul
6.25 aku sudah sampai di gerbang sekolah. Aku berjalan menyusuri lorong menuju
kelasku. Namun tiba-tiba, seorang melangkah mendahuli langkahku. Aku menoleh.
Hatiku langsung tak karuan saat melihat sosok laki-laki itu. “Aga?” desir
hatiku.
Ia
berlalu tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. Ia percepat langkahnya. Aku ingin
sekali mengejarnya. Namun, aku tak bisa seperti itu. Aku malah sengaja
memelankan langkah kakiku. Aku tak bisa mengikutinya.
Setelah
aku tiba di kelas, tak lama kemudian Zefa datang. Ia sudah tersenyum menagih
apa yang akan aku tunjukan padanya.
“Mana?”
tagihnya.
“Kayaknya
aku ga jadi ngasih surat itu deh Fa.”
Aku menciut.
“Loh,
ko gitu? Ga boleh gitu donk! Emangnya kenapa ga jadi?” terlihat sedikit
kekecawaan di wajahnya, tapi ia tak urung menghentikanku.
“Kamu
liat aja kesana?” aku mengarahkan pandanganku ke seberang kiri kelas, tepat
dimana Aga sedang duduk merenung.
“yah,
payah! Ga bisa, pokoknya tu surat harus dikasih! Biar aku yang ngasihnya. Tapi
sini, aku pengen baca dulu suratnya!” Zefa menadahkan telapak tangannya.
Aku pun merogoh tasku untuk
mengambil sepucuk surat yang kuselipkan di dalam buku catatan. Zefa langsung
pergi menuju toilet untuk membaca surat milikku itu. Takut kelihatan teman yang
lain.
Selang beberapa menit ia
kembali dengan wajah yang sumringah lagi.
“Bagus juga Iana, isi
suratnya... Dalem!!” ujarnya sambil menggodaku.
“huh, ngeledek?” aku tersenyum
juga.
Kami
lalu duduk di depan kelas, duduk bersanda gurau. Bel berbunyi, tapi kami tetap
berada di luar kelas karena proses belajar mengajar di sekolah sedang tak
efektif saat itu.
Saat
kami sedang ngobrol, tiba-tiba melintas di depan kami Aga yang saat itu habis
main bola dengan teman-temannya. Tapi, ia berjalan sendirian. Tiba-tiba Zefa
langsung berdiri, hendak menghampiri Aga. Aku jadi tak karuan. Aku langsung
masuk kelas dan pura-pura tak tahu.
Selang
beberapa menit, Zefa kembali menghampiriku di dalam kelas. Ia lalu menarikku ke
sudut kelas.
“Udah
dikasih Fa suratnya?” tanyaku dengan nada sedikit cemas.
“Udah
Iana.” Jawabnya enteng.
“Gimana
ekspresi dia? Ceritain Fa?!” aku memelas.
“Pas
aku manggil dia, dia udah senyum-senyum kepedean gitu. Terus waktu aku kasih
dia surat dan nanya sama dia “coba tebak dari siapa?” dia udah tahu, “dari Iana
kan?” katanya sambil senyum-senyum. Aku tahu dia bakalan gitu Iana.” Terangnya.
“aah,
aku jadi malu donk Fa ya?”
“ga,
biasa za. Keputusan kamu buat ngasih surat dan ngungkapin perasaan kamu itu
udah tepat menurut aku. Sekarang kamu tinggal nunggu balasan suratnya.”
Huff..
Hari
itu terasa benar-benar hari yang sangat mendebarkan bagiku. Aku jadi tak karuan
gara-gara surat itu. Di satu sisi aku merasa ingin menyesal dengan apa yang
telah aku lakukan, tapi di sisi lain aku merasa harus melakukan itu. Ah,
entahlah.
Karena
hari itu PBM tidak efektif, aku, Zefa dan teman-teman sekelasku nongkrong
sambil ngobrol-ngobrol di depan kelas. Tapi entah kenapa, sekalipun bersama
teman-teman, aku merasa galau sekali. Dan di tengah kegalauanku itu, melintas
seraut wajah yang begitu mendesirkan hati. Aku memerhatikannya sejak dari ia
berjalan dari ujung koridor kelas. Langkahnya yang begitu maskulin membuatku
tak bisa mengalihkan pandangan. Aku seperti orang bego melihatnya. Makin lama
ia melangkah makin mendekatiku. Seperti adegan slow motion rasanya.
Lalu
saat ia tepat melintas di depanku, ia pakaikan headset di kedua telinganya,
lalu memainkan ipod nya dengan santai. Ia sama sekali tak menoleh padaku. Aku
ingin sekali berteriak, Aga!!. Tapi ia terus berlalu dengan ekspresi yang amat
lain, dingin dan tak bersahabat. Menyedihkan rasanya melihat dia seperti itu.
“Kenapa? Kenapa dia begitu? Padahal dia tahu aku sudah mengirim sepucuk surat
padanya.!” Batinku tak henti menggerutu.
“itu
seperti bukan Aga Iana. Ekspresinya benar-benar dingin.” Tiba-tiba Zefa
berseloroh menambah kepiluan di hatiku. Aku hanya bisa menganggukan kepalaku.
Sungguh,
ekspresi Aga kala itu, tak juga bisa hilang dari pikiranku, bahkan sampai aku
pulang ke rumah. Ekspresinya berkelebat selalu hingga hampir membuatku gila
rasanya. Aku terus bersusah payah menghilangkan bayangan itu. Sebisa mungkin
mencari cara agar tak selalu kuingat ekspresi Aga yang membuatku merasa iba
pada diriku sendiri.
Dan
ternyata, ada hal lain yang akan lebih memilukan hatiku selain itu.
Kira-kira
pukul 5 sore, kala itu aku sedang berusaha sibuk dengan buku-buku sekolahku di
ruang tengah. Terdengar suara sms dari HPku yang kusimpan di atas meja belajar
di kamarku. Tiga kali berturut-turut bunyinya. Aku tak lantas membawanya.
“hai
sahabatku… maafkan….” Terdengar suara Ratih, adikku berbicara seperti itu. Aku
lalu menghampirinya. Dia sedang membuka pesan yang masuk ke HPku tadi.
“ih
Ratih, ga sopan…! Sini...!” ujarku sedikit kesal padanya. Lalu aku menarik HPku
dari tangannya dan mengusir dia pergi dari kamarku. Aku lantas membaca pesan
yang masuk tadi.
“hai
sahabatku… maafkan aku yang telah membuatmu berkesakitan seperti itu. Ketika
aku tahu, aku sangat menyesal sekali atas apa yang aku lakukan padamu. Sungguh,
kau bukanlah wanita yang pantas untuk disakiti. Bahkan kau wanita yang terlalu
baik di mataku. Hingga tak pantas sekali rasanya bila aku mendapatkanmu, karena
ketulusanmu selalu membuatku merasa menjadi lelaki yang amat kejam. Sekali
lagi, maafkanlah aku yang telah menyakitimu. Aku Aga, mendoakanmu dengan
sepenuh hati, semoga apa yang kau harapkan bisa tercapai dan kelak kau
mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari aku...”
Serasa disambar petir hatiku ini.
Tulang-tulang di tubuhku seakan remuk rasanya dihantam palu godam. Aku yang
tadinya membaca sms itu sambil berdiri, langsung terkulai lemas di samping
tempat tidur. Mataku tak bisa menahan air yang mengalir deras dari dalamnya.
Aku merasa tak percaya dengan balasan itu. Kenapa seperti itu?? Yang aku
harapkan adalah kau!
Aku
lantas membacanya sekali lagi. Tulisan di HPku tak bisa dengan jelas lagi
kulihat. Mataku menjadi buram. Namun, aku paksakan membacanya sekali lagi. Dan
kali ini lebih jelas lagi, lebih tegas lagi kurasakan kalau benarlah sepertinya
selama ini aku hanya mencintai satu arah. Dan itu membuat hatiku lebih
teriris-iris.
Itu
sama sekali bukan yang aku harapkan! Kenapa dia begitu kejam. Aga tega sekali
padaku. Kenapa dia membalas seperti itu. Aku benar-benar tak suka dengan
balasan itu!
Aku
lalu menelpon balik nomor yang mengirim sms itu, nomor Aga. Tapi, nomornya tak
aktif. Hah, itu benar-benar membuat aku semakin sakit. Aku tak bisa lagi
berpikir apa-apa. Yang aku tahu, Aga begitu kejam padaku. I was broken...
* * *
Dan
patah hatiku itu berlangsung untuk beberapa hari. Aku banyak menangis karena
balasan sms Aga itu. Rasanya itu merupakan suatu pukulan terhebat yang pernah
aku rasakan ketika aku duduk di bangku SMA. Hatiku sama sekali tak bisa
berdamai dengan rasa sakit itu. Aku tidak tahu kenapa bisa sesakit itu, ngilu
rasanya hatiku.
Beruntung
ada Zefa disampingku. Dia yang mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh saat
itu. Hatiku yang pincang rasanya sedikit terpapah oleh Zefa.
Dia bilang, itu pasti yang
terbaik. Dan dia selalu yakin bahwa Aga bukanlah lelaki jahat. Dia amat yakin
karena dia satu-satunya orang yang dekat dengan kami berdua sewaktu kami
sekelas di kelas X. Bahkan dia pun saksi dari hubunganku dengan Aga dulu. Walau
diantara kami bertiga, tak ada yang tahu hubungan apa itu tepatnya.
Yah, akupun tahu itu. Aga
bukanlah lelaki jahat. Tapi rasanya sulit percaya kalau cintaku bertepuk
sebelah tangan. Sementara
kedekatanku dengan Aga dulu tak bisa kuanggap biasa, karena yang aku tahu
kedekatan kami dulu bukanlah dalam batas sahabat.
Dia yang mengenalkan aku pada
sesuatu yang dia namai cinta. Meski memang tak pernah ada deklarasi untuk kata
itu. Tapi dia selalu menguasai hatiku kala itu. Sikapnya padaku selalu
menyiratkan seakan aku ini aset terpenting di hidupnya. Hingga dia tak pernah
membiarkan orang lain mejamahku walau hanya sedikit. Selalu ada dia dalam
setiap gerak-gerikku. Aku tak pernah luput dari bayang-bayangnya. Semakin hari
dia membuatku semakin tak bisa lepas darinya. Aneh, tapi indah.
“Jangan pernah marah padaku
karena semua perlakuanku padamu. Harus kau tahu, kaulah yang membuat aku
seperti ini.” Begitu ungkapnya ketika kami sedang duduk berdua di pojok kelas.
Tapi aku tak bisa mengerti dengan jelas maksud perkataannya itu.
Dia menggenggam tanganku
erat-erat hingga nyaris lumpuh rasanya kakiku karena getaran yang kurasakan
saat itu begitu dahsyat. Sungguh, rasa yang aneh. Aku baru merasakannya saat
itu. Dialah lelaki pertama yang menyentuh tanganku, dan belum ada lagi yang
selanjutnya. Hanya dia.
Dan saat itu aku tak bisa
berkata apa-apa. Hanya duduk disampingnya, menatapnya yang sedang memejamkan
mata. Lelaki sombong dan arogan itu selalu tampak berbeda jika dia sedang
disampingku. Nyaris kulihat sesosok laki-laki yang sempurna saat itu. Lelaki
yang sangat mempesona. Lelaki yang selalu membuat aku terjatuh dan terjatuh
lagi.
Benar. Dia membuatku jatuh
cinta berkali-kali pada orang yang sama. Dan itu perasaan yang sangat indah. Perlu
diketahui, dia satu-satunya lelaki nakal yang pernah dekat denganku.
Ketika itu, aku dengan
polosnya selalu berusaha melepaskan genggaman tangannya itu. Namun dengan tegas
ia katakan, “Dan jangan pernah lepaskan genggaman tanganku ini jika aku tak
rela untuk melepasnya.” Aku langsung mematung mendengar penegasan itu. Dan
sejak saat itu, dia mengambil alih hatiku. Dan mungkin, hingga saat ini.
Tapi ternyata, setelah aku
mengirim surat pada Aga, aku rasa semua perasaan itu hanyalah ada dalam
pengartianku saja. Apa memang benar aku telah salah mengartikan semuanya?
Perasaan sedih, patah hati dan
kecewa itu terus melingkupi hatiku untuk beberapa hari. Padahal detik-detik
Ujian Nasional semakin dekat. Aku takut hancur. Aku tak bisa terus seperti itu.
Aku ingin bangkit, tapi sulit rasanya. Dan meski tertatih, aku terus berusaha
berjalan. Untuk masa depanku!
* * *
Beberapa
hari setelah pengiriman surat cinta itu, aku tak pernah melihat sosok Aga
dengan jelas. Mataku selalu berusaha mencari sosoknya. Hingga suatu hari ketika
ujian praktek, dia tepat berada didepan mataku.
“Hai!”
ujarnya lembut dengan wajah sumringah, senyumannya amat sangat bersahabat dan
menenangkan hati.
“Hai!”
jawabku spontan dengan raut yang tak kalah ramah darinya.
Aku
heran. Kenapa bisa seperti itu? Aku telah patah hati olehnya, tapi melihat dia
saat itu sungguh semua perasaan sakitku itu hilang dalam sekejap. Dia pun
bersikap seolah tak pernah ada apa-apa diantara kami. Padahal, lama rasanya
kami tak saling tegur sapa ketika itu.
Sungguh,
meski hanya seperti itu, aku sangat bahagia. Tidak ada artinya mungkin bagi
orang lain. Tapi hal itu memberiku pengartian yang besar. Dan sejak saat itu,
aku benar-benar merasa tak menyesal telah mengirim surat cinta itu padanya.
Meski aku tak tahu pasti perasaannya padaku, aku hanya tahu bahwa aku memang
benar-benar mencintainya.
Di
siang hari yang sama, di hari yang bahagia itu, Zefa pun memberikan kabar
gembira padaku. “Iana, aku tadi ngobrol sama Aga.” Begitu ungkapnya ketika kami
ngobrol di depan kelas. Aku mengkerutkan dahi.
“Aga
bilang, dia sebenarnya sangat ingin bisa dekat lagi denganmu seperti dulu. Tapi
katanya itu ga mungkin. Karena kamu sama Aga sekarang udah beda keadaannya.
Karena akan menyakitkan bila kalian seperti dulu lagi katanya. Dia juga ngerasa
malu sama kamu karena belum bisa nepatin janjinya. Tapi, dia akan tetap
berusaha menepati janjinya itu. Karena
baginya, kamu adalah wanita spesial di hidupnya.”
Hatiku
yang sudah sangat bahagia melihat senyuman Aga di pagi hari, bertambah sukanya
mendengar apa yang dikatakan Zefa. Aku semakin yakin dia itu bukan lelaki
jahat. Dan aku malah semakin yakin dengan perasaanku padanya. Karena aku bisa
menangkap dengan jelas maksud dari apa yang Aga katakan lewat Zefa itu. Aku
mengerti.
Meski
awalnya aku rasa mengirim surat cinta itu hal yang bodoh dan memalukan, tapi
aku benar-benar tak menyesal dengan mengirim surat cinta itu pada Aga. Walaupun
bukan suatu kepastian, tapi aku telah mendapatkan sebuah pertanda tentang arti
kedekatan aku dengan Aga dulu.
Iya.
Setidaknya aku tahu, meski kami belum pernah pacaran, tapi hubungan kedekatan
kami dulu itu adalah suatu hubungan yang spesial. Dan juga, setidaknya aku
pernah menempati tempat yang istimewa di hatinya, meski mungkin saat ini tempat
itu telah tergantikan. Tapi, aku bahagia.
Dan
kini, meski kejadian itu telah berlalu hampir tiga tahun yang lalu, tapi aku
masih bisa dengan jelas merasakannya. Hari ini aku merasa bangga telah menjadi
seorang pemberani dengan mangungkapkan perasaanku pada Aga. Kalau tidak, aku
pasti akan menyesal seumur hidup dengan membiarkan hatiku merana tanpa
mengungkapkan semua perasaanku. Memendam cinta itu memang sangat indah, tapi
aku telah merasakan keindahan yang lebih setelah aku mengungkapkannya.
Dan
perasaan itu sekarang, hmm aku tak tahu dengan pasti. Entah masih sama atau
tidak. Tapi aku selalu mengenang dia dalam hatiku, mengenang dia sebagai cinta
pertamaku. Kenangan itu kadang menghampiri di saat-saat sepiku atau melintas
dibalik wajah seseorang. Yah dari balik wajah Zefa aku masih bisa melihat kronologis
kenangan tentang Aga itu. Mengapa? Karena mereka berdua adalah dua orang
teristimewa di hidupku. Mereka berdua adalah takdirku.
Meski
aku tak tahu pastinya, tapi ada sedikit keyakinan dalam hatiku kalau aku dan
Aga akan bertemu lagi kelak dalam suasana yang indah. Yah, aku harus yakin kami
akan bertemu lagi. Karena masih ada satu janji yang belum dia tunaikan padaku.
Janji yang selalu membuatnya malu padaku. Janji yang membuat jarak diantara
kami semakin menjauh.
Mengajakku melihat kembang api
di malam ulang tahunku. Itulah janjinya saat kami baru pertama dekat.
Sederhana, tapi belum terlaksana. Dan aku akan menagih janji itu kelak. Meski
mungkin, telah ada seseorang dalam hidup kami pada saat itu. Namun keberadaan
surat cinta itu tak bisa menyangkal kenyataan. Bahwa untuk beberapa saat,
pernah ada cerita tentang aku dan Aga.
Akupun
tak tahu, apa saat ini aku masih mengharapkannya atau tidak. Aku hanya tahu dia
yang telah meniggalkan hatiku yang terdalam. Memberikan memori yang indah.
Meski dengan duka dan air mata. Semua itu selalu dengan jelas menghampiriku, di
Februari. Karena Februari, Aga dan bersama dengan surat cinta itu, telah
menjadi satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Dan akan selalu ada di hatiku,
meski hingga ragaku telah tak lagi bernyawa.
(This story is dedicated for both my
beloved friends)
By: Tiara Purnamasari
20/8/2010, 7.34pm
Komentar
Posting Komentar